A. DEFINISI
T Sifilis
ialah penyakit infeksi oleh Treponema
pallidum dengan perjalanan penyakit yang kronis, adanya remisi dan
eksaserbasi, dapat menyerang semua organ dalam tubuh terutama sistem
kardiovaskuler, otak dan susunan saraf, serta dapat terjadi sifilis kongenital.
Disebut juga Mal de Naples, Morbus
gallicus, Lues venera (prat), disease of the isle of Espanole (Dias), Spanish
of French disease, Italian or Neopolitan disease, raja singa, dan lain-lain
(Mansjoer, 2000).
T Sifilis ialah
merupakan infeksi sistemik kronik yang disebabkan oleh Treponema pallidum subspesies pallidum
yang biasanya ditularkan secara seksual dan ditandai oleh episode penyakit
aktif diselingi oleh periode laten (Harrison ,
1999).
T Sifilis
ialah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Treponema
pallidum, sangat kronik dan sejak semula bersifat sistemik. Pada
perjalanannya dapat menyerang hampir semua alat tubuh, dapat menyerupai banyak
penyakit, mempunyai masa laten, dan dapat ditularkan dari ibu ke janin.
(Harahap, 1984).
B. ETIOLOGI
Sifilis disebabkan oleh Treponema pallidum, yaitu spiroketa
mikroaerofilik dengan flagela aksial peri plasmik yang mengelilingi protoplasma
langsung helikal, yang seluruhnya dibungkus oleh membran luar. (Robbins, 1999).
Treponema pallidum menurut Harrison
(1999) terbagi menjadi beberapa sub spesies pallidum diantaranya:
T. pallidum sub spesies pallidum (selanjutnya disebut
T. pallidum) menyebabkan sifilis kelamin.
T. pallidum sub spesies endemicum menyebabkan sifilis
endemis atau bejel.
T. paraluiscuniculi menyebabkan sifilis pada kelinci.
C. KLASIFIKASI
Menurut
Mansjoer (2000), Harrison (1999) dan Harahap
(1984), pembagian sifilis secara klinis ialah:
1. Sifilis Kongenital
Penularan
T. pallidum dari perempuan yang menderita sifilis ke janin yang dikandungnya
melalui plasenta dapat terjadi pada tahap kehamilan berapapun, tetapi lesi
sifilis kongenital secara umum berkembang setelah bulan keempat kehamilan.
ketika kemampuan imunologik mulai berkembang penampakan sifilis kongenital
dapat dibagi menjadi:
1)
Penampakan dini yagn muncul dalam waktu 2 tahun
pertama kehidupan atau antara umur 2 sampai 10 minggu, menular dan menyerupai
sifilis sekunder berat pada orang dewasa.
2)
Penampakan lanjut
Muncul
setelah 2 tahun dan tidak menular.
3)
Kecacatan sisa sifilis kongenital.
2. Sifilis Akuisita
Menurut
Harahap (1985) sifilis akuisita dibagi menurut 2 cara yaitu:
-
Secara klinis
Secara
klinis sifilis dibagi menjadi tiga stadium: stadium I (S I), stadium II (S II ), dan stadium III (S III )
-
Secara epidemiologik
Secara
epidemiologik menurut WHO dibagi menjadi:
1)
Stadium dini menular (dalam waktu 2 tahun sejak
infeksi), terdiri atas S I, S II , stadium
rekuren, dan stadium laten dini.
2)
Stadium laten lanjut tak menular (setelah 2 tahun
sejak infeksi) terdiri atas stadium laten lanjut dan S III .
Mansjoer
(2000) dan Harahap (1984) menyebutkan bentuk lain dari sifilis yaitu:
Sifilis
kardiovaskular dan neurosifilis. Ada
yang memasukkannya ke dalam S III atau S IV
atau sebagai metasifilis.
D. PATOGENESIS
Penularan terjadi melalui kontak langsung dengan
lesi yang mengandung treponema, treponema dapat masuk (port d’ entre) melalui
selaput lendir yang utuh/kulit dengan lesi, kemudian masuk ke peredaran darah
dan semua organ dalam tubuh. Infeksi bersifat sistemik dan manifestasinya akan
tampak kemudian. Perkembangan penyakit sifilis berlangsung dari satu stadium ke
stadium berikutnya, 10-90 hari (umumnya 3-4 minggu) setelah terjadi infeksi,
pada tempat masuk T. pallidum timbul lesi primer yang bertahan 1-5 minggu dan
kemudian hilang sendiri, kurang lebih 6 minggu (2-6 minggu) setelah lesi primer
terdapat kelainan kulit dan selaput lendir yang pada permulaan menyeluruh,
kemudian mengadakan konfluensi dan berbentuk khas, kadang-kadang kelainan kulit
hanya sedikit/sepintas lalu. (Mansjoer, 2000).
Secara klinik perjalanan penyakit yang terjadi menurut
Mansjoer (2000) dan Harahap (1984) sebagai berikut:
- Sifilis
Akuisita
a.
Sifilis stadium I
Tiga
minggu (10-90 hari) setelah terinfeksi, timbul lesi pada tempat T. pallidum
masuk, lesi umumnya hanya satu, terjadi afek primer berupa papul yang erosif
berukuran beberapa milimeter sampai 1-2 cm, berbentuk bulat/bulan lonjong,
dasarnya bersih, merah, kulit disekitarnya tidak ada tanda-tanda radang dan
bila diraba ada pengerasan (indurasi) yang merupakan satu lapisan seperti
sebuah kancing di bawah kain atau sehelai karton yang tipis, (kelainan ini
tidak nyeri) indolen. Gejala tersebut sangat khas bagi sifilis stadium I afek
primer, erosi dapat berubah menjadi ulkus berdinding tegak lurus, sedangkan
sifat lainnya seperti pada afek primer, keadaan ini disebut ulkus durum yang
dapat menjadi fagedenik bila ulkusnya meluas. Kadang-kadang hanya terdapat
edema induratif pada pintu masuk T. pallidum yang tersering pada labia mayora.
Sekitar 3 minggu kemudian terjadi penjalaran ke kelenjar ingunal medial,
kelenjar tersebut membesar, padat kenyal pada perabaan, tidak nyeri, soliter
dan dapat digerakkan bebas dari sekitarnya. Keadaan ini disebut sebagai sifilis
stadium 1 kompleks primer, lesi umumnya terdapat pada alat kelamin, dapat juga
ekstragenital (bibir, lidah, tonsil, putting susu, jari, dan anus).
Hasil
pemeriksaan TSS pada sifilis stadium 1 dapat seronegatif/seropositif,
seronegatif umumnya terdapat bilamana kompleks primer belum terjadi.
b.
Sifilis stadium II
Pada
umumnya bila gejala sifilis stadium II muncul, sifilis stadium I sudah sembuh,
waktu antara sifilis stadium I masih ada saat timbul sifilis stadium II. Sifat
yang khas pada sifilis ialah jarang ada rasa gatal, gejala konstitusinya
seperti nyeri kepala, demam sub febril, anorexia, nyeri pada tulang dan nyeri
leher biasanya mendahului. Kelainan kulit yang timbul berupa makula, papul,
pustul dan rupia, tidak terdapat vesikel dan bula.
Sifilis
stadium II disebut sebagai The greatest
immitator of all skin disease, pada stadium ini terdapat kelainan selaput
lendir dan limfadenitis yang generalisata, diagnosis sifilis stadium II biasa
ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan serologik yang reaktif dan pemeriksaan
lapangan gelap positif.
c.
Sifilis stadium III
Lesi
yang khas adalah guma yang terjadi 3-7 tahun setelah infeksi, guma umumnya
satu, dapat multiple, ukuran miliar sampai berdiameter beberapa centimeter,
guma dapat timbul pada semua jaringan dan organ, membentuk nekrosis central
dikelilingi oleh jaringan granulasi dan pada jaringan luarnya terjadi jaringan
fibrosa, sifatnya destruktif, guma mengalami supurasi dan memecah serta
meninggalkan suatu ulkus dengan dinding curam dan dalam dasarnya terdapat
jaringan nekrotik berwarna kuning putih, stadium ini merusak semua jaringan,
tulang rawan pada hidung dan palatum, guma dapat ditemukan di dalam hepar,
lambung, lien, paru, testis, dan lain-lain. Kelainan lain berupa nodus di bawah
kulit, ukuran miliar sampai tentikular, merah dan tidak ada nyeri tekan,
permukaan nodus dapat berskuoma sehingga menyerupai psoriasis tetapi tanda
auspitz negatif.
- Sifilis
Kongenital
Treponema pallidum dapat melalui plasenta dan masuk ke
peredaran darah janin, oleh karena langsung masuk ke peredaran darah tidak
terdapat sifilis stadium I. Sifilis kongenital dibagi menjadi sifilis
kongenital dini, lanjut, dan stigmata. Sifilis kongenital dini dapat muncul
beberapa minggu (3 minggu) setelah bayi dilahirkan. Kelainan berupa vesikel dan
bula yang setelah memecah membentuk erosi yang ditutupi krusta, kelainan ini
sering muncul beberapa bulan setelah bayi dilahirkan, kelainan berupa papul
dengan skuama yagn menyerupai sifilis stadium II. Kelainan pada selaput lendir
berupa sekret hidung yang sering bercampur darah. Kelainan pada tulang panjang
berupa osteokondritis yang khas pada foto rongent bisa terdapat splenomegali
dan pneumonia alba.
Sifilis kongenital lanjut terdapat pada usia lebih
dari 2 tahun. Manifestasi klinis baru ditemukan pada usia 7-9 tahun dengan
adanya trias Hutchinson ,
yakni kelainan pada mata (keratitis interstisial yagn dapat menyebabkan
kebutaan), ketulian N VIII , dan gigi Hutchinson (incisivus I
atas kanan dan kiri bentuknya seperti obeng). Kelainan lain dapat berupa
paresis, perforatum pallatum durum, kelainan tulang tibia dan frontalis.
Stigmata terlihat pada sudut mulut berupa garis-garis yagn
jalannya radier, gigi Hutchinson ,
gigi molar pertama berbentuk seperti murbai dan penonjolan tulang frontal
kepala (frontal bossing).
- Sifilis
Kardiovaskular
Umumnya bermanifestasi 10-20 tahun setelah infeksi. Sejumlah
10% pasien sifilis akan mengalami fase ini. Pria dan orang dengan kulit
berwarna lebih banyak terkena. Jantung dan pembuluh darah yang terkena terutama
yang besar. Kematian pada sifilis terjadi akibat kelainan sistem ini.
Biasanya disebabkan oleh nekrosif aorta yang
berlanjut ke arah katup. Tanda-tanda sifilis kardiovaskular adalah insufisiensi
aorta atau aneurisma, berbentuk kantong pada aorta torakal (aneurisme aorta
torakales). Secara teliti harus diperiksa kemungkinan adanya hipertensi,
arteriosklerosis, dan penyakit jantung rematik sebelumnya. Bila terdapat
insufisiensi aorta tanpa kelainan katup pada seseorang berusia setengah baya
disertai pemeriksaan serologis yang reaktif. Pertama kali harus dipikirkan
sifilis kardiovaskuler sampai dapat dibuktikan lebih lanjut. Pemeriksaan
serologis umumnya reaktif.
- Neurosifilis
Penyakit ini umumnya bermanifestasi dalam 10-20
tahun setelah infeksi, walaupun T. pallidum langsung bergerak setelah infeksi
ke sistem otot dan saraf. Kelainan ini lebih banyak didapat pada orang kulit
putih. Neurosifilis dibagi menjadi 3 jenis, bergantung kepada tipe dan tingkat
kerusakan susunan saraf pusat.
a.
Neurosifilis asimtomatik
Pemeriksaan
serologis reaktif. Tidak ada tanda dan gejala kerusakan susunan saraf pusat.
Pemeriksaan sumsum tulang belakang menunjukkan kenaikan sel, protein total dan
tes serologis reaktif.
b.
Neurosifilis meningovaskular
Terdapat
tanda dan gejala kerusakan susunan saraf pusat, berupa kerusakan pembuluh dara
serebrum, infark dan ensefalomalasia dengan tanda-tanda adanya fokus neurologis
sesuai dengan ukuran dan lokasi lesi.
c.
Neurosifilis parenkimatosa yang terdiri dari paresis
dan tabes dorsalis.
Tanda
dan gejala paresis sangat banyak dan selalu menunjukkan penyebaran kerusakan
parenkimatosa. Terdapat tanda fokus neurologis. Tanda dan gejala tabes dorsalis
akibat degenerasi kolumna posterior adalah parestesia, ataksia, arefleksia,
gangguan kandung kemih, impotensi dan perasaan nyeri.
E. PATHWAY KEPERAWATAN
|
|||
F. MANIFESTASI KLINIK
- Sifilis
Dini
a.
Sifilis primer (S I)
Terjadi
afek primer berupa papul yang erosif, erosi dapat berubah menjadi ulkus,
keadaan ini disebut ulkus durum. Bila ulkus meluas ke samping dan ke dalam
menjadi fagedenik kadang terdapat edema induratif pada sulkus koronarius
(pria)/labia mayora/minora (wanita). Terjadi pembesaran kelenjar inguinal
medial, timbul lesi pada alat kelamin dan juga ekstragenital (bibir, lidah,
tonsil, putting susu, jari dan anus).
b.
Sifilis sekunder (S II )
Nyeri
kepala, demam sub febril, anorexia, nyeri pada tulang, nyeri leher yang
mendahului/bersamaan dengan kelainan kulit, kelainan kulit berupa makula,
papul, pustul, rupia. Terdapat kelainan selaput lendir, dan limfadenitis yagn
generalisata. Nyeri tenggorok, suara parau, kerontokan rambut (alopesia difus)
dan alopesia areolaris).
Warna
kuku menjadi putih, rapuh, terjadi uveitis anterior pada mata, kadang terjadi
koriootinitis, kadang terjadi hepatisis, hepar membesar dan menyebabkan ikterus
ringan, pembengkakan sendi.
c.
Sifilis laten dini
Tidak
ada gejala klinis dan kelainan termasuk alat-alat dalam, tetapi infeksi masih
ada dan aktif.
d.
Stadium rekuren
Relaps
dapat terjadi baik secara klinis berupa kelainan kulit mirip S
II , dapat terjadi kelainan pada mata, tulang, alat dalam dan
susunan saraf.
- Sifilis
Lanjut
a.
Sifilis laten lanjut
Mungkin
terjadi aorititis, terdapat sikatrik bekas S I pada alat genital (leukoderma
pada leher) yang menunjukkan bekas S II ,
kadang terdapat atrofi makular yang lentikuler pada badan bekas papel S II .
b.
Sifilis tersier
Guma
(satu atau multipel). Guma yang pecah menyebabkan ulkus, terdapat nodus
bergerombol/tersebar guma di selaput lendir (mulut, tenggorok, septum nasi),
dapat terjadi perforasi pada septum nasi/palatum mole, leukoplakia pada lidah,
nyeri pada tulang tibia, tengkorak, bahu, femur, fibula dan humerus (biasanya
malam hari). Guma dapat menyerang alat dalam seperti hepar, esofagus, lambung,
paru, ginjal, vesika urinaria, prostat, ovarium, testis.
G. PEMERIKSAAN DIAGNOSIS
Pemeriksaan diagnosis menurut Harrison
(1999) dan Harahap (1984), ada 3 yaitu: (1) pemeriksaan Treponema palidum; (2)
tes serologik sifilis (TSS); (3) pemeriksaan yang lain.
- Pemeriksaan
Treponema pallidum
Cara pemeriksaan ialah dengan mengambil serum dari
lesi kulit dan dilihat bentuk dan pergerakannya dengan mikroskop lapang gelap.
Treponema tampak berwarna putih pada latar belakang gelap.
Pemeriksaan lain dengan pewarnaan menurut Buri, tidak dapat
dilihat pergerakaannya karena treponema tersebut telah mati, jadi hanya tampak
bentuknya saja. Secara lege artis harus diperiksa tiga kali berturut-turut,
setiap hari, sementara itu lesi dikompres dengan larutan garam faal.
- TSS
TSS atau Serologic
Tests for Syphilis (STS)
merupakan pembantu diagnosis yang terpenting bagi sifilis. Sebagai ukuran untuk
mengevaluasi tes serologi ialah sensitivitas dan spesifisitas. Sensitivitas
ialah kemampuan untuk bereaksi pada penyakit sifilis, sedangkan spesifisitas
berarti kemampuan non reaktif pada penyakit bukan sifilis.
S I pada mulanya memberi hasil TSS negatif
(seronegatif), kemudian menjadi positif (seropositif) dengan titer rendah, jadi
positif lemah. Pada S II yang masih dini reaksi menjadi positif agak kuat, yang
akan menjadi sangat kuat pada S II lanjut.
Pada S III reaksi menurun lagi menjadi positif lemah atau negatif.
TSS dibagi menjadi dua berdasarkan antigen yang dipakai: (1)
nontreponemal (tes reagin); (2) treponemal.
1)
Tes nontreponemal
Pada
tes ini digunakan antigen tak spesifik yaitu kardiolipin yang dikombinasikan
dengan lesitin dan kolesterol, karena itu tes ini dapat memberi Reaksi Biologik
Semu (RBS) atau Biologic False Positive (BFP).
Antibodinya
disebut reagin, yang terbentuk setelah infeksi dengan Treponema pallidum,
tetapi zat tersebut terdapat pula pada pelbagai penyakit lain dan selama
kehamilan.
Contoh
tes nontreponemal:
a)
Tes komplemen fiksasi: Wasserman (WR), Kolmer.
b)
Tes flokasi: VDRL (Veneral Disease Research
Laboratories), Kahn, RPR (Rapid Plasma Reagin), ART (Automated Reagin Test),
dan RST (Reagin Screen Test).
Diantara
tes-tes tersebut, yang dianjurkan ialah VDRL dan RPR secara kuantitatif, karena
teknis lebih mudah dan lebih cepat daripada tes fiksasi komplemen, lebih
sensitif daripada tes Kolmer/Wasserman, dan baik untuk menilai terapi.
Tes
RPR dilakukan dengan antigen VDRL, kalau terapi berhasil, maka titer VDRL cepat
menurun, dalam enam minggu titer akan menjadi normal. Jika titer seperempat
atau lebih tersangka penderita sifilis, mulai positif setelah dua sampai empat
minggu sejak S I timbul. Titer akan meningkat hingga mencapai puncaknya pada S II lanjut (1/64 atau 1/125) kemudian berangsur-angsur
menurun dan mencapai negatif.
2)
Tes treponemal
Tes
ini bersifat spesifik karena antigennya ialah treponema atau ekstraknya dan
dapat digolongkan menjadi empat kelompok:
a)
Tes imobilisasi: TPI (Treponemal pallidum
Immobilization Test).
b)
Tes fiksasi komplemen: RPCF (Reiter Protein Complement
Fixation Test).
c)
Tes imunofluoresen: FTA-Abs (Fluorecent Treponemal
Antibody Absorption test), ada dua: IgM, IgG.
d)
Tes hemoglutisasi: TPHA (Treponemal pallidum
Haemoglutination Assay), IgS IgM SPHA (Solid-phase Hemabsorption Assay).
TPI
merupakan tes yang paling spesifik, tetapi mempunyai kekurangan: biayanya
mahal, teknis sulit, membutuhkan waktu banyak. kecuali itu juga reaksinya
lambat, baru positif pada akhir stadium primer, tidak dapat digunakan untuk
menilai hasil pengobatan, hasil dapat negatif pada sifilis dini dan sangat
lanjut.
RPCF
sering digunakan untuk tes screening karena biayanya murah; kadang-kadang
didapatkan reaksi positif semu.
FTA-Abs
paling sensitif (90%), terdapat dua macam yaitu untuk IgM dan IgG. IgM sangat
reaktif pada sifilis dini, pada terapi yang berhasil titer IgM cepat turun,
sedangkan IgG lambat. IgM penting untuk mendiagnosis sifilis kongenital.
TPHA
merupakan tes treponemal yang dianjurkan karena teknis dan pembacaan hasilnya
mudah, cukup spesifik dan sensitif, menjadi reaktifnya cukup dini.
Kekurangannya tidak dapat dipakai untuk menilai hasil terapi, karena tetap
reaktif dalam waktu yang lama.
IgS
IgM TPHA merupakan tes yang mutakhir dan sedang dikembangkan. Pada sifilis
laten dan S III , tes nontreponemal bervariasi:
positif lemah atau negatif, sedangkan tes treponemal positif lemah. Sebulan
setelah pengobatan, tes-tes tersebut diulangi. Jika pengobatannya berhasil,
titer akan menurun, kecuali TPHA. Bila hasil tes serologik tidak sesuai dengan
klinis, tes tersebut perlu diulangi, karena mungkin terjadi kesalahan teknis.
TSS dan kehamilan
Bila
pada bayi TSS reaktif, maka belum tentu diagnosisnya sifilis kongenita, karena
ada kemungkinan faktor perpindahan serum dari ibu secara pasif. Karena tes ini
akan memberi reaksi positif pada neonatus dengan sifilis kongenita, tetapi
negatif pada neonatus yang tidak terinfeksi oleh ibu dengan TSS positif.
TSS pada neurosifilis
Tes
yang berguna untuk mendiagnosis neurosifilis ialah IgS IgM SPHA, karena adanya
IgM dalam cairan serebrospinalis yang merupakan indikasi tepat bagi
neurosifilis.
Positif Semu Biologik (PSB)
a)
PSB akut
Ciri khas PSB akut: hasil tes nontreponemal positif
lemah, tidak ada persesuaian antara kedua tes; berakhir dalam beberapa
hari/minggu, jarang melebihi enam bulan sesudah penyakitnya sembuh.
b)
PSB kronis
Pada
bentuk ini tes treponemal akan memberi reaksi positif yang berulang dalam
beberapa bulan/tahun. Hasil tes likuor serebrospinalis negatif.
Positif sejati
Positif
sejati (true positives) pada TSS
ialah penyakit treponematosis yang menyebabkan tes nontreponemal dan tes
treponemal positif. Penyakit tersebut ialah penyakit tropis/subtropis, yakni:
frambusia, bejel, dan pinta.
- Pemeriksaan
yang lain
Sinar rontgen dipakai untuk melihat kelainan khas
pada tulang, yang dapat terjadi pada S II , S III , dan sifilis kongenita. Juga pada sifilis
kardiovaskular. Juga untuk melihat kelainan pada sistem tersebut, misalnya
aneurisma aorta.
H. KOMPLIKASI
Komplikasi sifilis menurut Sjamsuhidajat dan Wim de Jong
(1998) yaitu:
- Limfadenitis inguinalis luetikum.
- Ulkus durum.
- Dimensia paralitika.
- Aneurisma aorta luetikum.
- Taber dorsalis
-
Krisis lambung luetik
-
Gangguan miksi.
- Periostitis/osteomielitis
- Guma:
-
Otak
-
Mulut dan atau hidung
-
Hepar
-
Testis
-
Kadang orchitis luetika.
I. PENCEGAHAN
Pencegahan penyakit
seksual menular menurut Long (1996):
- Pencegahan
Primer
Ditujukan
untuk mencegah penyakit. Mencakup mendidik orang-orang yang sudah terinfeksi
sedemikian rupa sehingga mereka dapat menghindarkan kontak dengan orang lain
yang tidak terinfeksi. Identifikasi dan penanganan/pengobatan orang-orang
asimtomatik yang tidak terlindung. Program pendidikan untuk masyarakat umum dan
keterlibatan aktif pada profesional dalam program-program pengawasan. Tujuan
usaha ini mencakup pemberantasan reservoir penyakit dalam masyrakat.
- Pencegahan
Sekunder
Ditujukan
untuk pencegahan kompliaksi-komplikasinya.
- Pencegahan
Tersier
Difokuskan
untuk pengurangan efek-efek komplikasi.
J. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan
sifilis menurut Harrison (1999) dan Mansjoer
(2000):
- Medikamentosa
q
Sifilis primer dan sekunder
-
Penisilin benzatin G dosis 4,8 juta unit injeksi
intramuskular (2,4 juta unit/kali) dan diberikan satu kali seminggu, atau
-
Penisilin prokain dalam aqua dengan dosis 600.000 unit
injeksi intramuskular sehari selama 10 hari, atau
-
Penisilin prokain ditambah 2% aluminium monostearat,
dosis total 4,8 juta unit, diberikan 2,4 juta unit/kali sebanyak 2 kali
seminggu.
q
Sifilis laten
-
Penisilin benzatin G dosis total 7,2 juta unit, atau
-
Penisilin G prokain dalam aqua dengan dosis total 12
juta unit (600.000 unit sehari) atau
-
Penisilin prokain ditambah 2% aluminium monostearat,
dosis total 7,2 juta unit (diberikan 1,2 juta unit/kali, 2 kali seminggu).
q
Sifilis III
-
Penisilin benzatin G dosis total 9,6 juta unit, atau
-
Penisilin G prokain dalam aqua dengan dosis total 18
juta unit (600.000 unit sehari), atau
-
Penisilin prokain ditambah 2% aluminium monostearat,
dosis total 9,6 juta unit (diberikan 1,2 juta unit/kali, 2 kali seminggu).
q
Untuk pasien sifilis I dan II yang alergi terhadap
penisilin, dapat diberikan:
-
Tetrasiklin 500 mg per oral 4 kali sehari selama 15
hari, atau
-
Eritromisin 500 mg per oral 4 kali sehari selama 15
hari, atau
Untuk
pasien sifilis laten lanjut (lebih dari 1 tahun) yang alergi terhadap
penisilin, dapat diberikan:
-
Tetrasiklin* 500 mg per oral 4 kali sehari selama 30
hari, atau
-
Eritromisin 500 mg per oral 4 kali sehari selama 30 hari,
atau
*
Obat ini tidak boleh diberikan kepada wanita hamil, menyusui dan anak-anak.
- Pemantauan
serologik
Pemantauan
serologik dilakukan pada bulan I, II, VI, dan XI tahun pertama, dan setiap 6
bulan pada tahun kedua.
- Non
medikamentosa
Memberikan
pendidikan kepada pasien dengan menjelaskan hal-hal sebagai berikut:
-
Bahaya PMS dan komplikasinya.
-
Pentingnya mematuhi pengobatan yang diberikan.
-
Cara penularan PMS dan perlunya pengobatan untuk
pasangan seks tetapnya.
-
Hindari hubungan seksual sebelum sembuh, dan memakai
kontom jika tak dapat menghindari lagi.
-
Cara-cara menghindari infeksi PMS di masa datang.
t;line�HCgth)pZ-stops:102.85pt 112.2pt'>Rasional : Untuk
mencegah timbulnya infeksi.
DAFTAR PUSTAKA
Dhanardono, Denny. (2006). Kenali tumor
kandungan mioma uteri. Terdapat pada :
http://www.republika.co.id/suplemen/cetak_detail.asp?mid=2&id=243235&kat_id=105&kat_id1=150&kat_id2=204.
Diakses pada tanggal 10 Oktober 2006.
Iskandar, Sugi S. (2006). Mengenal kista,
mioma, dan endometritis. Terdapat pada : http://tabloidnova.com/articles.asp?id=9220&no=1.
Diakses pada tanggal 10 Oktober 2006.
Iskandar, Sugi S. (2006). Mengenal kista,
mioma, dan endometritis. Terdapat pada : http://oetjipop.multiply.com/reviews/item/10.
Diakses pada tanggal 10 Oktober 2006.
Juanita, Vivi. (2006). Jangan pandang
enteng tumor otot rahim. Terdapat pada : http://www.sinarharapan.co.id/iptek/kesehatan/2004/0305/kes4.html.
Diakses pada tanggal 10 Oktober 2006.
Mansjoer, Arif. (1999). Kapita selekta
kedokteran. Edisi 3. Jilid 1. Jakarta
: Media Aesculapius.
Manuaba, I.B.G. (2001). Kapita selekta
pelaksanaan rutin obstetric ginekologi & KB. Jakarta : EGC.
Prawiroharjo, Sarwono. (1991). Ilmu
kandungan. Jakarta
: Yayasan Bina Pustaka.
Price, Sylvia A. (1995). Patofisiologi :
konsep klinis proses-proses penyakit. Jakarta
: EGC.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar