BAB I
PENDAHULUAN
Aspek sosial dan budaya sangat mempengaruhi pola kehidupan semua manusia. Dalam era globalisasi dengan berbagai perubahan yang begitu ekstrem pada masa ini menuntut semua manusia harus memperhatikan aspek sosial budaya. Salah satu masalah yang kini banyak merebak di kalangan masyarakat adalah kematian ataupun kesakitan pada ibu dan anak yang sesungguhnya tidak terlepas dari faktor-faktor sosial budaya dan lingkungan di dalam masyarakat dimana mereka berada.
Disadari atau tidak, faktor-faktor kepercayaan dan pengetahuan budaya seperti konsepsi-konsepsi mengenai berbagai pantangan, hubungan sebab- akibat antara makanan dan kondisi sehat-sakit, kebiasaan dan ketidaktahuan, seringkali membawa dampak baik positif maupun negatif terhadap kesehatan ibu dan anak. Pola makan, misalnya, pacta dasarnya adalah merupakan salah satu selera manusia dimana peran kebudayaan cukup besar. Hal ini terlihat bahwa setiap daerah mempunyai pola makan tertentu, termasuk pola makan ibu hamil dan anak yang disertai dengan kepercayaan akan pantangan, tabu, dan anjuran terhadap beberapa makanan tertentu.
1.2 Tujuan Makalah
Mengetahui aspek sosial budaya pada setiap perkawinan, trimester kehamilan dan persalinan kala I, II, III dan IV.
1.3 Rumusan Masalah
1. Bagaimana aspek sosial budaya pada setiap perkawinan?
2. Bagaimana aspek sosial budaya pada setiap kehamilan?
3. Bagaimana aspek sosial budaya pada trimester kehamilan I, II, III dan IV?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Perkawinan
Pada hakekatnya perkawinan adalah ikatan lahir batin manusia untuk hidup brsama antara seorang pria dan seorang wanita untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang kekal, bahagia dan sejahtera. Sacara bahasa Az-zawaaj adalah kata dalam bahasa arab yang menunjukan arti: bersatunya dua perkara, atau bersatunya ruh dan badan untuk kebangkitan. Karena perkawinan menunjukkan makna bergandengan, maka disebut juga “Al¬-Aqd, yakni bergandengan (bersatu)nya antara laki-laki dengan perempuan, yang selanjutnya diistilahkan dengan “zawaaja.
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pengertian pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pernikahan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum perkawinan masing-masing agama dan kepercayaan serta tercatat oleh lembaga yang berwenang menurut perundang-undangan yang berlaku.
Perkawinan adalah salah satu bentuk ibadah yang kesuciannya perlu dijaga oleh kedua belah pihak baik suami maupun istri. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia sejahtera dan kekal selamanya. Perkawinan memerlukan kematangan dan persiapan fisik dan mental karena menikah / kawin adalah sesuatu yang sakral dan dapat menentukan jalan hidup seseorang.
2.2 Aspek Sosial Budaya Pada Setiap Perkawinan
Berdasarkan pada aspek sosial budaya pola penyesuaian perkawinan dilakukan secara bertahap. Disadari atau tidak, faktor-faktor kepercayaan dan pengetahuan budaya seperti konsepsi-konsepsi mengenai berbagai pantangan , hubungan sebab- akibat antara makanan dan kondisi sehat-sakit , kebiasaan dan ketidaktahuan , seringkali membawa dampak baik positif maupun negatif terhadap kesehatan ibu dan anak . Pola makan , misalnya , pacta dasarnya adalah merupakan salah satu selera manusia dimana peran kebudayaan cukup besar . Hal ini terlihat bahwa setiap daerah mempunyai pola makan tertentu , termasuk pola makan ibu hamil dan anak yang disertai dengan kepercayaan akan pantangan , tabu , dan anjuran terhadap beberapa makanan tertentu .
Pada aspek sosial budaya pola penyesuaian perkawinan dilakukan secara bertahap , yakni di antaranya :
1. Pada fase pertama adalah bulan madu pasangan masih menjalani hidup dengan penuh kebahagian , dan hal itu karena didasari rasa cinta diawal perkawinan . Pada fase pengenalan kenyataan , pasangan mengetahui karakteristik dan kebiasaan yang sebenarnya dari pasangan .
2. Pada fase kedua mulai terjadi krisis perkawinan terjadi proses penyesuaian akan adanya perbedaan yang terjadi . Apabila sukses dalam menerima kenyataan maka akan dilanjutkan dengan suksesnya fase menerima kenyataan . Apabila pasangan sukses mengatasi problema keluarga dengan berapatasi dan membuat aturan dan kesepakatan dalam rumah tangga maka fase kebahagiaan sejati akan diperolehnya.
Menurut faktor pendukung keberhasilan penyesuaian perkawinan mayoritas subjek terletak dalam hal saling memberi dan menerima cinta , ekspresi afeksi , saling menghormati dan menghargai , saling terbuka antara suami istri . Hal tersebut tercermin pada bagaimana pasangan suami istri menjaga kualitas hubungan antar pribadi dan pola-pola perilaku yang dimainkan oleh suami maupun istri , serta kemampuan menghadapi dan menyikapi perbedaan yang muncul , sehingga kebahagiaan dalam hidup berumah tangga akan tercapai .
Ada beberapa contoh mitros yang beredar di kalangan masyarakat di antaranya :
Beberapa kepercayaan yang ada misalnya di Jawa Tengah , ada kepercayaan bahwa ibu hamil pantang makan telur karena akan mempersulit persalinan dan pantang makan daging karena akan menyebabkan perdarahan yang banyak . Sementara di salah satu daerah di Jawa Barat , ibu yang kehamilannya memasuki 8-9 bulan sengaja harus mengurangi makannya agar bayi yang dikandungnya kecil dan mudah dilahirkan . Di masyarakat Betawi berlaku pantangan makan ikan asin, ikan laut, udang dan kepiting karena dapat menyebabkan ASI menjadi asin . Contoh lain di daerah Subang , ibu hamil pantang makan dengan menggunakan piring yang besar karena khawatir bayinya akan besar sehingga akan mempersulit persalinan . Dan memang, selain ibunya kurang gizi, berat badan bayi yang dilahirkan juga rendah . Tentunya hal ini sangat mempengaruhi daya tahan dan kesehatan si bayi.
Menurut aspek sosial budaya faktor pendukung keberhasilan penyesuaian perkawinan mayoritas subjek terletak dalam hal saling memberi dan menerima cinta, ekspresi afeksi, saling menghormati dan menghargai, saling terbuka antara suami istri. Hal tersebut tercermin pada bagaimana pasangan suami istri menjaga kualitas hubungan antar pribadi dan pola-pola perilaku yang dimainkan oleh suami maupun istri, serta kemampuan menghadapi dan menyikapi perbedaan yang muncul, sehingga kebahagiaan dalam hidup berumah tangga akan tercapai.
Sedangkan menurut aspek sosial budaya faktor penghambat yang mempersulit penyesuaian perkawinan mayoritas subjek terletak dalam hal baik suami maupun istri tidak bisa menerima perubahan sifat dan kebiasaan di awal pernikahan, suami maupun istri tidak berinisiatif menyelesaikan masalah, perbedaan budaya dan agama diantara suami dan istri, suami maupun istri tidak tahu peran dan tugasnya dalam rumah tangga. Hal tersebut tercermin pada bagaimana pasangan suami istri menyikapi perubahan, perbedaan, pola penyesuaian yang dimainkan dan munculnya hal-hal baru dalam perkawinan, yang kesemuanya itu dirasa kurang membawa kebahagiaan hidup berumah tangga, sehingga masing- masing pasangan gagal dalam menyesuaikan diri satu sama lain.
2.3 Faktor Penyesuaian Perkawinan
1. Faktor pendukung keberhasilan penyusuaian perkawinan mayoritas subjek terletak dalam hal saling memberi dan menerima cinta, ekspresi, saling menghormati dan menghargai, saling terbuka antara suami istri. Hal tersebut tercermin pada bagaimana pasangan suami istri menjaga kualitas hubungan antar pribadi dan pola – pola perilaku yang dimainkan oleh suami maupun istri,serta kemampuan menghadapi dan menyikapi perbedaan yang muncul, sehingga kebahagian dalam hidup berumah tangga akan tercapai
2. Faktor penghambat yang mempersulit penyesuaian aspek sosial budaya terletak dalam hal baik suami maupun istri tidak bisa menerima perubahan sifat dan kebiasaan diawal pernikahan, suami maupun istri tidak berinisiatif menyelesaikan masalah,perbedaan budaya dan agama diantara suami dan istri, suami maupun istri tidak tahu peran dan tugas nya dalam berumah tangga. Hal tersebut tercermin pada bagaimana pasangan suami istri menyikapi perubahan, perbedaan,pola penyesuaian serta hal – hal baru dalam perkawinan sehingga masing – masing pasangan gagal dalam menyesuaikan diri satu sama lain.
2.4 Aspek Sosial Budaya Pada Setiap Trimester Kehamilan
Perawatan kehamilan merupakan salah satu faktor yang amat perlu diperhatikan untuk mencegah terjadinya komplikasi dan kematian ketika persalinan, disamping itu juga untuk menjaga pertumbuhan dan kesehatan janin. Memahami perilaku perawatan kehamilan (ante natal care) adalah penting untuk mengetahui dampak kesehatan bayi dan si ibu sendiri. Pacta berbagai kalangan masyarakat di Indonesia, masih banyak ibu-ibu yang menganggap kehamilan sebagai hal yang biasa, alamiah dan kodrati. Mereka merasa tidak perlu memeriksakan dirinya secara rutin ke bidan ataupun dokter.
Masih banyaknya ibu-ibu yang kurang menyadari pentingnya pemeriksaan kehamilan menyebabkan tidak terdeteksinya faktor-faktor resiko tinggi yang mungkin dialami oleh mereka. Resiko ini baru diketahui pada saat persalinan yang sering kali karena kasusnya sudah terlambat dapat membawa akibat fatal yaitu kematian. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan dan kurangnya informasi. Selain dari kurangnya pengetahuan akan pentingnya perawatan kehamilan, permasalahan-permasalahan pada kehamilan dan persalinan dipengaruhi juga oleh faktor nikah pada usia muda yang masih banyak dijumpai di daerah pedesaan. Disamping itu, dengan masih adanya preferensi terhadap jenis kelamin anak khususnya pada beberapa suku, yang menyebabkan istri mengalami kehamilan yang berturut-turut dalam jangka waktu yang relatif pendek, menyebabkan ibu mempunyai resiko tinggi pacta saat melahirkan.
Permasalahan lain yang cukup besar pengaruhnya pada kehamilan adalah masalah gizi. Hal ini disebabkan karena adanya kepercayaan-kepercayaan dan pantangan-pantangan terhadap beberapa makanan. Sementara, kegiatan mereka sehari-hari tidak berkurang ditambah lagi dengan pantangan-pantangan terhadap beberapa makanan yang sebenamya sangat dibutuhkan oleh wanita hamil tentunya akan berdampak negatif terhadap kesehatan ibu dan janin. Tidak heran kalau anemia dan kurang gizi pada wanita hamil cukup tinggi terutama di daerah pedesaan. Dikatakan pula bahwa penyebab utama dari tingginya angka anemia pada wanita hamil disebabkan karena kurangnya zat gizi yang dibutuhkan untuk pembentukan darah.
Beberapa kepercayaan yang ada misalnya di Jawa Tengah, ada kepercayaan bahwa ibu hamil pantang makan telur karena akan mempersulit persalinan dan pantang makan daging karena akan menyebabkan perdarahan yang banyak.
Beberapa kepercayaan yang ada misalnya di Jawa Tengah, ada kepercayaan bahwa ibu hamil pantang makan telur karena akan mempersulit persalinan dan pantang makan daging karena akan menyebabkan perdarahan yang banyak.
Sementara di salah satu daerah di Jawa Barat, ibu yang kehamilannya memasuki 8-9 bulan sengaja harus mengurangi makannya agar bayi yang dikandungnya kecil dan mudah dilahirkan. Di masyarakat Betawi berlaku pantangan makan ikan asin, ikan laut, udang dan kepiting karena dapat menyebabkan ASI menjadi asin. Contoh lain di daerah Subang, ibu hamil pantang makan dengan menggunakan piring yang besar karena khawatir bayinya akan besar sehingga akan mempersulit persalinan. Dan memang, selain ibunya kurang gizi, berat badan bayi yang dilahirkan juga rendah. Tentunya hal ini sangat mempengaruhi daya tahan dan kesehatan si bayi. Selain itu, larangan untuk memakan buah-buahan seperti pisang, nenas, ketimun dan lain-lain bagi wanita hamil juga masih dianut oleh beberapa kalangan masyarakat terutama masyarakat di daerah pedesaan. (Wibowo, 1993).
Di daerah pedesaan, kebanyakan ibu hamil masih mempercayai dukun beranak untuk menolong persalinan yang biasanya dilakukan di rumah. Data Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 1992 rnenunjukkan bahwa 65% persalinan ditolong oleh dukun beranak. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan mengungkapkan bahwa masih terdapat praktek-praktek persalinan oleh dukun yang dapat membahayakan si ibu. Penelitian Iskandar dkk (1996) menunjukkan beberapa tindakan/praktek yang membawa resiko infeksi seperti "ngolesi" (membasahi vagina dengan rninyak kelapa untuk memperlancar persalinan), "kodok" (memasukkan tangan ke dalam vagina dan uterus untuk rnengeluarkan placenta) atau "nyanda" (setelah persalinan, ibu duduk dengan posisi bersandardan kaki diluruskan ke depan selama berjam-jam yang dapat menyebabkan perdarahan dan pembengkakan).
Pemilihan dukun beranak sebagai penolong persalinan pada dasarnya disebabkan karena beberapa alasan antara lain dikenal secara dekat, biaya murah, mengerti dan dapat membantu dalam upacara adat yang berkaitan dengan kelahiran anak serta merawat ibu dan bayi sampai 40 hari.
Disamping itu juga masih adanya keterbatasan jangkauan pelayanan kesehatan yang ada. Walaupun sudah banyak dukun beranak yang dilatih, namun praktek-praktek tradisional tertentu rnasih dilakukan. lnteraksi antara kondisi kesehatan ibu hamil dengan kemampuan penolong persalinan sangat menentukan hasil persalinan yaitu kematian atau bertahan hidup. Secara medis penyebab klasik kematian ibu akibat melahirkan adalah perdarahan, infeksi dan eklamsia (keracunan kehamilan). Kondisi-kondisi tersebut bila tidak ditangani secara tepat dan profesional dapat berakibat fatal bagi ibu dalam proses persalinan. Namun, kefatalan ini sering terjadi tidak hanya karena penanganan yang kurang baik tepat tetapi juga karena ada faktor keterlambatan pengambilan keputusan dalam keluarga. Umumnya, terutama di daerah pedesaan, keputusan terhadap perawatan medis apa yang akan dipilih harus dengan persetujuan kerabat yang lebih tua; atau keputusan berada di tangan suami yang seringkali menjadi panik melihat keadaan krisis yang terjadi. Kepanikan dan ketidaktahuan akan gejala-gejala tertentu saat persalinan dapat menghambat tindakan yang seharusnya dilakukan dengan cepat.
Disamping itu juga masih adanya keterbatasan jangkauan pelayanan kesehatan yang ada. Walaupun sudah banyak dukun beranak yang dilatih, namun praktek-praktek tradisional tertentu rnasih dilakukan. lnteraksi antara kondisi kesehatan ibu hamil dengan kemampuan penolong persalinan sangat menentukan hasil persalinan yaitu kematian atau bertahan hidup. Secara medis penyebab klasik kematian ibu akibat melahirkan adalah perdarahan, infeksi dan eklamsia (keracunan kehamilan). Kondisi-kondisi tersebut bila tidak ditangani secara tepat dan profesional dapat berakibat fatal bagi ibu dalam proses persalinan. Namun, kefatalan ini sering terjadi tidak hanya karena penanganan yang kurang baik tepat tetapi juga karena ada faktor keterlambatan pengambilan keputusan dalam keluarga. Umumnya, terutama di daerah pedesaan, keputusan terhadap perawatan medis apa yang akan dipilih harus dengan persetujuan kerabat yang lebih tua; atau keputusan berada di tangan suami yang seringkali menjadi panik melihat keadaan krisis yang terjadi. Kepanikan dan ketidaktahuan akan gejala-gejala tertentu saat persalinan dapat menghambat tindakan yang seharusnya dilakukan dengan cepat.
Tidak jarang pula nasehat-nasehat yang diberikan oleh teman atau tetangga mempengaruhi keputusan yang diambil. Keadaan ini seringkali pula diperberat oleh faktor geografis, dimana jarak rumah si ibu dengan tempat pelayanan kesehatan cukup jauh, tidak tersedianya transportasi, atau oleh faktor kendala ekonomi dimana ada anggapan bahwa membawa si ibu ke rumah sakit akan memakan biaya yang mahal. Selain dari faktor keterlambatan dalam pengambilan keputusan, faktor geografis dan kendala ekonomi, keterlambatan mencari pertolongan disebabkan juga oleh adanya suatu keyakinan dan sikap pasrah dari masyarakat bahwa segala sesuatu yang terjadi merupakan takdir yang tak dapat dihindarkan. Selain pada masa hamil, pantangan-pantangan atau anjuran masih diberlakukan juga pada masa pasca persalinan.
Pantangan ataupun anjuraan ini biasanya berkaitan dengan proses pemulihan kondisi fisik misalnya, ada makanan tertentu yang sebaiknya dikonsumsi untuk memperbanyak produksi ASI; ada pula makanan tertentu yang dilarang karena dianggap dapat mempengaruhi kesehatan bayi. Secara tradisional, ada praktek-praktek yang dilakukan oleh dukun beranak untuk mengembalikan kondisi fisik dan kesehatan si ibu. Misalnya mengurut perut yang bertujuan untuk mengembalikan rahim ke posisi semula; memasukkan
ramuan-ramuan seperti daun-daunan kedalam vagina dengan maksud untuk membersihkan darah dan cairan yang keluar karena proses persalinan; atau memberi jamu tertentu untuk memperkuat tubuh (Iskandar et al., 1996).
ramuan-ramuan seperti daun-daunan kedalam vagina dengan maksud untuk membersihkan darah dan cairan yang keluar karena proses persalinan; atau memberi jamu tertentu untuk memperkuat tubuh (Iskandar et al., 1996).
2.5 Aspek Sosial Budaya Selama Persalinan Kala I, II, III Dan IV
Ada suatu kepercayaan yang mengatakan minum rendaman air rumput Fatimah akan merangsang mulas. Memang, rumput Fatimah bisa membuat mulas pada ibu hamil, tapi apa kandungannya belum diteliti secara medis. Jadi, harus dikonsultasikan dulu ke dokter sebelum meminumnya. Soalnya, rumput ini hanya boleh diminum bila pembukaannya sudah mencapai 3-5 cm, letak kepala bayi sudah masuk panggul, mulut rahim sudah lembek atau tipis, dan posisi ubun-ubun kecilnya normal.
Jika letak ari-arinya di bawah atau bayinya sungsang, tak boleh minum rumput ini karena sangat bahaya. Terlebih jika pembukaannya belum ada, tapi si ibu justru dirangsang mulas pakai rumput ini, bisa-bisa janinnya malah naik ke atas dan membuat sesak nafas si ibu. Mau tak mau, akhirnya dilakukan jalan operasi.
Keluarnya lendir semacam keputihan yang agak banyak menjelang persalinan, akan membantu melicinkan saluran kelahiran hingga bayi lebih mudah keluar. Keluarnya cairan keputihan pada usia hamil tua justru tak normal, apalagi disertai gatal, bau, dan berwarna. Jika terjadi, segera konsultasikan ke dokter. Ingat, bayi akan keluar lewat saluran lahir. Jika vagina terinfeksi, bisa mengakibatkan radang selaput mata pada bayi. Harus diketahui pula, yang membuat persalinan lancar bukan keputihan, melainkan air ketuban. Itulah mengapa, bila air ketuban pecah duluan, persalinan jadi seret.
Minum minyak kelapa memudahkan persalinan. Minyak kelapa, memang konotasinya bikin lancar dan licin. Namun dalam dunia kedokteran, minyak tak ada gunanya sama sekali dalam melancarkan keluarnya sang janin. Mungkin secara psikologis, ibu hamil meyakini, dengan minum dua sendok minyak kelapa dapat memperlancar persalinannya. Minum madu dan telur dapat menambah tenaga untuk persalinan. Madu tidak boleh sembarangan dikonsumsi ibu hamil. Jika BB-nya cukup, sebaiknya jangan minum madu karena bisa mengakibatkan overweight. Bukankah madu termasuk karbonhidrat yang paling tinggi kalorinya. Jadi, madu boleh diminum hanya jika BB-nya kurang. Begitu BB naik dari batas yang ditentukan, sebaiknya segera hentikan. Akan halnya telur tak masalah, karena mengandung protein yang juga menambah kalori.
Makan duren, tape, dan nanas bisa membahayakan persalinan. Ini benar karena bisa mengakibatkan perndarahan atau keguguran. Duren mengandung alkohol, jadi panas ke tubuh. Begitu juga tape. Pun untuk masakan yang menggunakan arak, sebaiknya dihindari. Buah nanas juga, karena bisa mengakibatkan keguguran. Makan daun kemangi membuat ari-ari lengket, hingga mempersulit persalinan. Yang membuat lengket ari-ari bukan daun kemangi, melainkan ibu yang pernah mengalami dua kali kuret atau punya banyak anak, misal empat anak. Ari-ari lengket bisa berakibat fatal karena kandungan harus diangkat. Ibu yang pernah mengalami kuret sebaiknya melakukan persalinan di RS besar. Hingga, bila terjadi sesuatu dapat ditangani segera.
Sebenarnya, kelancaran persalinan sangat tergantung faktor mental dan fisik si ibu. Faktor fisik berkaitan dengan bentuk panggul yang normal dan seimbang dengan besar bayi. Sedangkan faktor mental berhubungan dengan psikologis ibu, terutama kesiapannya dalam melahirkan. Bila ia takut dan cemas, bisa saja persalinannya jadi tidak lancar hingga harus dioperasi. Ibu dengan mental yang siap bisa mengurangi rasa sakit yang terjadi selama persalinan.
Faktor lain yang juga harus diperhatikan: riwayat kesehatan ibu, apakah pernah menderita diabetes, hipertensi atau sakit lainnya; gizi ibu selama hamil, apakah mencukupi atau tidak; dan lingkungan sekitar, apakah men-support atau tidak karena ada kaitannya dengan emosi ibu. Ibu hamil tak boleh cemas karena akan berpengaruh pada bayinya. Bahkan, berdasarkan penelitian, ibu yang cemas saat hamil bisa melahirkan anak hiperaktif, sulit konsentrasi dalam belajar, kemampuan komunikasi yang kurang, dan tak bisa kerja sama.
2.6 Aspek Sosial Budaya Dalam Masa Nifas
Aspek sosial budaya pada masyarakat di masa nifas terlebih bagi si ibu yang baru saja melalui proses kelahiran memang sangat penting diketahui akan dampak dari aspek-aspek tersebut, baik dampak positif maupun dampak negatif yang dapat mempengaruhi proses perkembangannya, baik proses pemulihan bagi si ibu maupun proses pertumbuhan bagi si bayi.
Namun, dewasa ini aspek-aspek tersebut kurang di perhatikan oleh masyarakat umumnya padahal hal tersebut sangatlah penting untuk diperhatikan terlebih dengan berkembangnya budaya-budaya asing yang masuk di bangsa ini dan kemajuan tehnologi di era globalisasi ini. Sang ibu harus selektif dalam proses pemulihan setelah kelahiran juga pada si bayi agar bisa berkembang dengan baik.
2.7 Perkawinan Beda-Agama Dari Aspek Hak Asasi Manusia
Seiringan dengan berkembangnya masyarakat, permasalahan yang terjadi semakin kompleks. Berkaitan dengan perkawinan, belakangan ini sering tersiar dalam berbagai media terjadinya perkawinan yang dianggap problematis dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai contoh, perkawinan campuran, perkawinan sejenis, kawin kontrak, dan perkawinan antara pasangan yang memiliki keyakinan (agama) yang berbeda. Walaupun perkawinan campuran dan perkawinan beda-agama sama sekali berbeda, bukan tidak mungkin pada saat yang sama perkawinan campuran juga menyebabkan perkawinan beda-agama. Hal ini disebabkan karena pasangan yang lintas negara juga pasangan lintas agama.
Selain permasalahan yang berhubungan dengan pengakuan negara atau pengakuan dari kepercayaan/agama atas perkawinan, pasangan yang melaksanakan perkawinan tersebut seringkali menghadapi masalah-masalah lain di kemudian hari, terutama untuk perkawinan beda-agama. Misalnya saja, pengakuan negara atas anak yang dilahirkan, masalah perceraian, pembagian harta ataupun masalah warisan. Belum lagi, dampak-dampak lain, seperti berkembangnya gaya hidup kumpul kebo atau hidup tanpa pasangan yang terkadang bisa dipicu karena belum diterimanya perkawinan beda-agama.
Biasanya, untuk mencegah terjadinya perkawinan beda-agama yang masih belum diterima dengan baik oleh masyarakat, biasanya salah satu pihak dari pasangan tersebut berpindah agama atau mengikuti agama salah satu pihak sehingga perkawinannya pun disahkan berdasarkan agama yang dipilih tersebut. Walaupun demikian, di tengah-tengah masyarakat, pro-kontra pendapat terjadi sehubungan dengan perkawinan beda-agama ini. Salah satu pendapat mengatakan bahwa masalah agama merupakan masalah pribadi sendiri-sendiri, sehingga negara tidak perlu melakukan pengaturan yang memasukkan unsur-unsur agama. Namun, di pihak lain, ada yang berpendapat bahwa perkawinan beda-agama dilarang oleh agama sehingga tidak dapat diterima.
Di sisi lain, di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terjadi perubahan yang signikan, terutama dalam hal penegakan Hak-Hak Asasi Manusia (HAM). Aspek-aspek dalam HAM terus menjadi sorotan masyarakat dunia karena semakin timbiul kesadaran bahwa muatannya merupakan bagian inheren dari kehidupan dan jati diri manusia[9]. Makalah ini memaparkan sejauh mana perkawinan beda-agama mendapat tempat dalam peraturan perundangan-undangan, dan kaitannya dengan aspek Hak Asasi Manusia (HAM).
2.8 Perkawinan Menurut Hukum Nasional
1. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Dalam konsepsi hukum perdata Barat, perkawinan hanya dipandang sebagai hubungan keperdataan saja. Artinya, tidak ada campur tangan dari Undang-undang terhadap upacara-upacara keagamaan yang melangsungkan perkawinan. Undang-undang hanya mengenal perkawinan perdata, yaitu perkawinan yang dilangsungkan di hadapan seorang pegawai catatan sipil.
Demikian juga dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang berlaku di Indonesia. Untuk melangsungkan sebuah perkawinan, hanya dibutuhkan dua macam syarat, yaitu:
1. Syarat materil, yang merupakan inti dalam melangsungkan perkawinan pada umumnya. Syarat ini meliputi:
A. Syarat materil mutlak yang merupakan syarat yang berkaitan dengan pribadi seseorang yang harus diindahkan untuk melangsungkan perkawinan pada umumnya. Syarat itu meliputi:
1. Monogami, bahwa seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami (Pasal 27 KUHPerdata).
2. Persetujuan dari calon suami dan istri (Pasal 28 KUHPerdata).
3. Interval 300 hari bagi seorang wanita yang pernah kawin dan ingin kawin kembali (Pasal 34 KUHPerdata).
4. Harus ada izin dari orangtua atau wali bagi anak-anak yang belum dewasa dan belum pernah kawin (Pasal 35 – Pasal 49 KUHPerdata.
B. Syarat materil relatif, yaitu ketentuan yang merupakan larangan bagi seseorang untuk kawin dengan orang tertentu, yang terdiri atas 2 macam:
1. Larangan kawin dengan keluarga sedarah.
2. Larangan kawin karena zinah
3. Larangan kawin untuk memperbaharui perkawinan setelah adanya perceraian, jika belum lewat waktunya satu tahun.
2. Syarat formal, yaitu syarat yang harus dipenuhi sebelum perkawinan dilangsungkan mencakup pemberitahuan ke pegawai Catatan Sipil (Pasal 50 – 51 KUHperdata).
2. Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Dengan berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, (UU Perkawinan) maka semua perundang-undangan perkawinan Hindia Belanda dinyatakan tidak berlaku lagi. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam Pasal 66 UU Perkawinan.
Menurut Pasal 1 UU Perkawinan, perkawinan adalah sebuah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari pasal ini, tersirat bahwa perkawinan yang berlaku di Indonesia adalah perkawinan antara seorang pria dan wanita saja. Selanjutnya, dalam Pasal 2 Undang-Undang tersebut disebutkan bahwa perkawinan dianggap sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan para pihak. Setelah perkawinan dilakukan, perkawinan tersebut pun harus dicatatkan, dalam hal ini pencatatan di Kantor Urusan Agama (KUA) dan Catatan Sipil.
Pasal 6 UU Perkawinan menetapkan beberapa persyaratan untuk melakukan perkawinan, yaitu:
1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
2. Bila calon mempelai belum mencapai umur 21 tahun, maka ia harus mendapat izin kedua orangtua atau salah satunya bila salah satu orangtua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya. Apabila keduanya telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
3. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut di atas atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin melakukan perkawinan.
4. Ketentuan di atas tidak bertentangan atau tidak diatur lain oleh hukum rnasing-masing agamanya dan kepercayaannya yang bersangkutan.
Sementara, untuk larangan kawin, UU Perkawinan (Pasal 8) prinsipnya hanya melarang terjadinya perkawinan yang keduanya memiliki hubungan tertentu, baik hubungan sedarah, semenda, susuan atau hubungan-hubungan yang dilarang oleh agamanya atau peraturan lain.
UU Perkawinan memandang perkawinan tidak hanya dilihat dari aspek formal semata-mata, melainkan juga dari aspek agama. Aspek agama menetapkan tentang keabsahan suatu perkawinan, sedangkan aspek formalnya menyangkut aspek administratif, yaitu pencatatan perkawinan. Menurut UU Perkawinan, kedua aspek ini harus terpenuhi keduanya. Bila perkawinan hanya dilangsungkan menurut ketentuan Undang-undang negara, tanpa memperhatikan unsur agama, perkawinan dianggap tidak sah. Sebaliknya, apabila perkawinan dilakukan hanya memperhatikan unsur hukum agama saja, tanpa memperhatikan atau mengabaikan Undang-undang (hukum negara), maka perkawinan dianggap tidak sah.
3. Status Perkawinan Beda-Agama Dalam Hukum Nasional
UU Perkawinan tidak memberi larangan yang tegas mengenai perkawinan yang dilakukan oleh pasangan yang memiliki agama/keyakinan yang berbeda. Hal ini menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda di kalangan masyarakat. Sebagian berpendapat bahwa perkawinan tersebut tidak sah karena tidak memenuhi baik ketentuan yang berdasarkan agama, maupun berdasarkan Undang-undang negara. Sementara, di sisi lain, ada pihak yang berpendapat berbeda. Perkawinan antara pasangan yang berbeda-agama sah sepanjang dilakukan berdasarkan agama/keyakinan salah satu pihak.
Prof. Wahyono Darmabrata menyebutkan ada 4 cara yang populer ditempuh oleh pasangan beda-agama agar pernikahannya dapat dilangsungkan, yaitu:
1. Perkawinan dilakukan dengan meminta penetapan pengadilan.
2. Perkawinan dilakukan menurut masing-masing agama.
3. Penundukan sementara pada salah satu hukum agama
4. Perkawinan dilakukan di luar negeri.
Untuk cara yang keempat, UU Perkawinan memberikan ruang yang dapat digunakan sebagai sarana untuk melegalkan perkawinan tersebut. Pasal 56 UU Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang warganegara Indonesia atau seorang warganegara Indonesia dengan warganegara asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu dilangsungkan dan, bagi warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan Undang-undang ini. Selanjutnya disebutkan bahwaa dalam waktu 1 tahun setelah suami dan isteri tersebut kembali ke wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka.
Namun, menurut Prof. Wahyono Darmabrata, perkawinan yang demikian tetap saja tidak sah sepanjang belum memenuhi ketentuan yang diatur oleh agama. Artinya, tetap perkawinan yang berlaku bagi warga negara Indonesia harus memperhatikan kedua aspek, yaitu aspek Undang-undang dan aspek hukum agama.
2.9 Aspek Sosial Budaya Yang Berkaitan Dengan Perkawinan Dan Pra Perkawinan
Berdasarkan pada aspek sosial budaya pola penyesuaian perkawinan dilakukan secara bertahap. Pada fase pertama adalah bulan madu pasangan masih menjalani hidup dengan penuh kebahagian. Pada fase kedua pengenalan kenyataan, pasangan mengetahui karakteristik dan kebiasaan yang sebenarnya dari pasangan. Pada fase ketiga mulai terjadi krisis perkawinan terjadi proses penyesuaian akan adanya perbedaan yang terjadi. Apabila sukses dalam menerima kenyataan maka akan dilanjutkan dengan fase menerima kenyataan. Apabila pasangan sukses mengatasi problema keluarga dengan berapatasi dan membuat aturan dan kesepakatan dalam rumah tangga maka fase kebahagiaan sejati akan diperolehnya.
Faktor pendukung keberhasilan penyesuaian perkawinan terletak dalam hal:
1. Saling memberi dan menerima cinta.
2. Saling menghormati dan menghargai.
3. Saling terbuka antara suami istri.
Hal tersebut tercermin pada bagaimana pasangan suami istri menjaga kualitas hubungan antar pribadi dan pola-pola perilaku yang dimainkan oleh suami maupun istri, serta kemampuan menghadapi dan menyikapi perbedaan yang muncul.
Menurut aspek sosial budaya faktor penghambat yang mempersulit penyesuaian perkawinan :
1. Suami maupun istri tidak bisa menerima perubahan sifat dan kebiasaan pasangannya di awal pernikahan.
2. Suami maupun istri tidak berinisiatif menyelesaikan masalah.
3. Perbedaan budaya dan agama diantara suami dan istri.
4. Suami maupun istri tidak tahu peran dan tugasnya dalam rumah tangga.
Hal tersebut tercermin pada bagaimana pasangan suami istri menyikapi perubahan, perbedaan, pola penyesuaian yang dimainkan dan munculnya hal-hal baru dalam perkawinan, yang kesemuanya itu dirasa kurang membawa kebahagiaan hidup berumah tangga, sehingga masing- masing pasangan gagal dalam menyesuaikan diri satu sama lain.
Masa pra perkawinan adalah masa pasangan untuk mempersiapkan diri ke jenjang perkawinan dimana individu mengalami perubahan-perubahan sikap untuk lebih dewasa dan saling terbuka dan mengerti satu sama lain.
Program kesehatan komunitas berfokus pada promosi kesehatan dan pencegahan penyakit. Disini dibutuhkan peran bidan dalam memberikan promosi kesehatan melalui program deteksi dini dan pengajaran. Misalnya deteksi dini penyakit kanker payudara, dan penyakit-penyakit lain pada pasangan pra perkawinan.
Juga termasuk pengajaran bagi pasangan pra perkawinan dengan usia dini dimana perkawinan dini masih menjadi masalah penting dalam kesehatan reproduksi perempuan di Indonesia. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) mencatat, anak perempuan yang menikah pertama kali pada usia sangat muda, 10-14 tahun, cukup tinggi, jumlahnya 4,8 persen dari jumlah perempuan usia 10-59 tahun. Sedangkan yang menikah dalam rentang usia 16-19 tahun berjumlah 41,9 persen. Dengan demikian, hampir 50 persen perempuan Indonesia menikah pertama kali pada usia di bawah 20 tahun. Provinsi dengan persentase perkawinan dini tertinggi adalah Kalimantan Selatan (9 persen), Jawa Barat (7,5 persen), serta Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah masing-masing 7 persen ini sangat berhubungan dengan sosial budaya pada daerah tersebut.
Usia perkawinan dini yang cukup tinggi pada perempuan mengindikasikan rentannya posisi perempuan di masyarakat. Sedangkan bagi perempuan, menikah artinya harus siap hamil pada usia sangat muda. Bila disertai kekurangan energi dan protein, akan menimbulkan masalah kesehatan yang dapat berakibat kematian bagi ibu saat melahirkan dan juga bayinya dan resiko hamil muda sangat tinggi.
Peran layanan kesehatan menjadi sangat penting, termasuk peran bidan, seperti tecermin dalam program Pos Bhakti Bidan-Srikandi Award 2010 pada Desember lalu. Para bidan dalam Pos Bhakti Bidan—program yang dicanangkan Ikatan Bidan Indonesia untuk layanan kesehatan perempuan bersama tokoh dan anggota masyarakat di tempat bidan berada—menjadi tumpuan ibu hamil dan remaja putri yang membutuhkan layanan kesehatan reproduksi.
Inisiatif bidan sangat menentukan derajat kesehatan perempuan pra perkawinan dan perkawinan. Bidan Asiwei E Tigoi dari Palangkarya, Kalimantan Tengah, misalnya, harus mengubah adat setempat memberikan santan segar kepada bayi baru lahir. Bidan Nuryati Alinti dari Kota Gorontalo berhadapan dengan masalah anemia remaja putri karena kehamilan pada usia belum 15 tahun.
Tantangan konkret yang dihadapi bidan adalah kemiskinan, pendidikan rendah, dan budaya. Karena itu, kemampuan mengenali masalah dan mencari solusi bersama masyarakat menjadi kemampuan dasar yang harus dimiliki bidan.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Perkawinan merupakan hak asasi yang paling mendasar yang tidak bisa diintervensi oleh siapapun, termasuk oleh negara. Sebaliknya, negara berkewajiban untuk menjamin pelaksaaan hak ini dengan cara mengadopsi HAM yang sudah diakui ke dalam hukum nasional secara menyeluruh karena HAM merupakah hak paling dasar yang menjadi landasan bagi semua produk hukum yang berkenaan dengan warga negara.
Dari pembahasan sebelumnya dapat ditarik kesimpulan, sebagai berikut:
1. Berdasarkan pada aspek sosial budaya pola penyesuaian perkawinan dilakukan secara bertahap, yaitu fase: bulan madu, pengenalan kenyataan, kemudian mulai terjadi krisis perkawinan. Apabila pasangan sukses mengatasi problema keluarga dengan berapatasi dan membuat aturan dan kesepakatan dalam rumah tangga maka fase kebahagiaan sejati akan diperolehnya.
2. Masih banyak ibu-ibu yang menganggap kehamilan sebagai hal yang biasa, alamiah dan kodrati. Mereka merasa tidak perlu memeriksakan dirinya secara rutin ke bidan ataupun dokter. Masih banyaknya ibu-ibu yang kurang menyadari pentingnya pemeriksaan kehamilan menyebabkan tidak terdeteksinya faktor-faktor resiko tinggi yang mungkin dialami oleh mereka. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan dan kurangnya informasi.
3. Kelancaran persalinan sangat tergantung faktor mental dan fisik si ibu. Faktor fisik berkaitan dengan bentuk panggul yang normal dan seimbang dengan besar bayi. Sedangkan faktor mental berhubungan dengan psikologis ibu, terutama kesiapannya dalam melahirkan. Bila ia takut dan cemas, bisa saja persalinannya jadi tidak lancar hingga harus dioperasi. Ibu dengan mental yang siap bisa mengurangi rasa sakit yang terjadi selama persalinan.
3.2 Saran
Saran yang kami berikan untuk para pembaca makalah ini, yaitu: setiap aspek sosial budaya yang melintas atau menjadi dasar bagi pola kehidupan manusia sehari-hari hendaknya dapat disaring, karena tidak setiap aspek sosial budaya yang masuk adalah postif.
DAFTAR PUSTAKA
http://yullyfransiska.blogspot.com/2010/11/aspek-sosial-budaya-pada-setiap.html
http://miamisland.blogspot.com/2010/03/aspek-sosial-budaya-pd-setiap.html
http://wahyunirini.blogspot.com/2010/11/aspek-sosial-budaya-pada-setiap.html
http://kti-akbid.blogspot.com/2011/03/aspek-sosial-budaya-berkaitan-dengan.html
http://dhioerla.blogspot.com/2010/11/aspek-sosial-budaya-yang-berkaitan_7542.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar