Dari data tentang pengetahuan dan perilaku remaja dalam kesehatan reproduksi, kita mencoba melihat a d an y a k e s en j a ng a n g e n d er t er u t am a p a d a pernikahan dan kehamilan usia remaja
1. Perkawinan pada masa rem aja
Dari data SDKI 2007 diketahui bahwa sekitar 2,6 p ersen wanita p ernah kawin m elakukan perkawinan pertamanya pada kelompok umur 15–19 tahun.
Perkawinan ini dapat terjadi oleh beberapa pertimbangan seperti:
a. pengetahuan yang rendah tentang waktu yang tepat untuk menikah;
b. ‘terpaksa’ karena sudah hamil pranikah atau untuk menutup aib karena sudah melakukan hubungan seksual pranikah. Pandangan masyarakat terhadap hubungan seks pranikah sangat bias gender, karena meskipun tindakan ini dilarang oleh agama dan norma masyarakat, hukuman, dan
‘kutukan’ lebih berat ditimpakan kepada perempuan daripada kepada laki-laki. Perempuan tidak mempunyai hak untuk protes terhadap ‘keperawanan’ calon suami sementara pihak laki-laki selalu menuntut hal ini pada perempuan (Mohamad,1998).
Dengan perkawinan ini remaja putri lebih merasakan dampaknya, yaitu:
a. tidak dapat melanjutkan pendidikan lagi kar ena p era tura n sek ol ah y an g ti dak mengijinkan siswi yang telah menikah untuk bersekolah;
b. secara mental remaja yang masih sangat muda dapat dikatakan belum siap sepenuhnya menghadapi kehidupan rumah tangga yang sangat berbeda dengan kehidupan remajanya;
c. dil ihat dari sisi kesehatan reproduksi, perkawinan yang secara langsung akan diikuti oleh kehamilan yang bisa berisiko pada keguguran atau pendarahan.
Kesenjangan gender ini dapat terjadi karena:
a. peranan orangtua yang dominan dalam menentukan perkawinan anak gadisnya yang dianggap ‘miliknya’ sepenuhnya bukan sebagai suatu pribadi utuh;
b. faktor sosial budaya yang beranggapan
‘ p eraw an t ua’ atau ‘ ti dak l aku ’ b i l a perempuan tidak segera menikah pada usia belasan tahun, bahkan sebelum mengalami haid sekalipun;
c. Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun
1974 y ang m em b ol eh kan p ern ikah an perempuan usia 16 tahun dan laki-laki 19 tahun;
d. sebagian masyarakat masih beranggapan bahwa perempuan mempunyai tempat di dapur dan rumahtangga sehingga sebaiknya segera menikah dan mempunyai anak, tidak perlu mengenyam pendidikan tinggi.
2 . Kehamilan pada masa remaja
Kehamilan pada masa remaja berdampak pada ti dak adan y a p el ua ng p erem p uan unt uk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Selain itu dapat pula berdampak pada terjadinya keguguran, risiko komplikasi persalinan, bahkan kematian maternal. Risiko ini tentu saja tidak dialami oleh remaja laki-laki.
Kesenjangan gender yang menimpa remaja putri ini terjadi karena:
a. perempuan seringkali tidak mempunyai kekuatan sebagai pengambil keputusan berkenaan dengan waktu kehamilan dan ke se ha ta n re p r od uk si d ir in y a k ar en a keputusan di tangan suami dan keluarga lainnya. Perempuan menjadi pihak yang harus pasrah, ‘nrimo’ semua perlakuan atau keputusan suami dan keluarganya (Hakim,
2001);
b. damp ak dari p ernikahan usia rem aja, orangtua menginginkan menimang cucu segera setelah anak-anaknya menikah, tanpa melihat kesiapan si anak, secara fisik maupun mental;
c. status perempuan di mata masyarakat tergantung pada kemampuannya untuk mempunyai anak. Seorang perem puan dianggap tidak sempurna apabila setelah m e ni k a h t i d ak b is a m e m i l ik i an a k (Dwiyanto,ed.1996:214), tanpa peduli siap atau tidaknya yang bersangkutan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar