Ilmu Sosial Budaya Dasar (ISBD)


BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
Kesehatan anak sekarang ini sangan memprihatinkan. Banyak sekali kasus anak-anak yang terkena penyakit tertentu karena tidak tercukupi kebutuhan gizinya. Seperti banyak anak-anak di pelosok desa yang orangtuanya hanya sekedar memberi kebutuhan gizi sekedarnya saja pada anak mereka.
Pada zaman sekarang ini perkembangan tekhnologi medis kian canggih. Meski demikian, secanggih apapun tekhnilogi yang berkembang tidak menghilangkan sejumlah mitos yang diyakini masyarakat. Bahkan mitos yang ada justru lebih dipercaya ketimbang nasehat dokter.
Terutama mitos mengenai kesehatan anak, orang zaman dahulu mempercayai bahwa jika melakukan sesuatu yang telah lama dilakukan oleh pendahulunya maka mereka juga akan melakukan itu pada anak-anak mereka. Padahal ini melah akan menjadi penghambat kesehatan anak. Sehingga anak mudah sekali terserang penyakit.
Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk menginformasikan atau memberitahukan kepada teman-teman mengenai mitos yang berkembang di masyarakat khususnya pedesaan yang masih memegang teguh aturan atau adat yang turun temurun mereka lakukan berdasarkan kebiasaan orang-orang terdahulu.
SKRT 1994 menunjukkan hahwa MMR sebesar 400 – 450 per 100.000 persalinan. Selain angka kematian, masalah kesehatan ibu dan anak juga menyangkut angka kesakitan atau morbiditas. Penyakit-penyakit tertentu seperti ISPA, diare dan tetanus yang sering diderita oleh bayi dan anak acap kali berakhir dengan kematian. Demikian pula dengan peryakit-penyakit yang diderita oleh ibu hamil seperti anemia, hipertensi, hepatitis dan lain-lain dapat membawa resiko kematian ketika akan, sedang atau setelah persalinan.
Program-program pembangunan kesehatan di Indonesia ditujukan pada penanggulangan masalah-masalah kesehatan ibu dan anak. Pada dasarnya program-program tersebut lebih menitik beratkan pada upaya-upaya penurunan angka kematian bayi dan anak, angka kelahiran kasar dan angka kematian ibu. Hal ini terbukti dari hasil-hasil survei yang menunjukkan penurunan angka kematian bayi dan anak, angka kelahiran kasar. Namun tidak demikian halnya dengan angka kematian ibu (MMR) yang selama dua dekade ini tidak menunjukkan penurunan yang berarti.
Baik masalah kematian maupun kesakitan pada ibu dan anak sesungguhnya tidak terlepas dari faktor-faktor sosial budaya dan lingkungan di dalam masyarakat dimana mereka berada. Disadari atau tidak, faktor-faktor kepercayaan dan pengetahuan budaya seperti konsepsi-konsepsi mengenai berbagai pantangan, hubungan sebab- akibat antara makanan dan kondisi sehat-sakit, kebiasaan dan ketidaktahuan, seringkali membawa dampak baik positif maupun negatif terhadap kesehatan ibu dan anak. Pola makan, misalnya, pacta dasarnya adalah merupakan salah satu selera manusia dimana peran kebudayaan cukup besar. Hal ini terlihat bahwa setiap daerah mempunyai pola makan tertentu, termasuk pola makan ibu hamil dan anak yang disertai dengan kepercayaan akan pantangan, tabu, dan anjuran terhadap beberapa makanan tertentu.

B.     Tujuan
1.      Untuk Memenuhi salah satu tugas mata kuliah
2.      Untuk mengetahui aspek social budaya yang berkaitan dengan kesehatan anak






BAB II
ISI


A.    Ruang Lingkup Ilmu Sosial Budaya Dasar (ISBD)
  1. Berbagai aspek kehidupan yang mengungkapkan masalah kemanusiaan dan budaya yang dapat didekati dengan menggunakan pengetahuan budaya (he humanities), baik dari segi keahlian (disiplin) di dalam pengetahuan budaya, maupun gabungan berbagai disiplin dalam pengetahuan budaya.
  2. Hakikat manusia yang satu atau universal, tetapi beragam perwujudannya dalam kebudayaan setiap zaman dan tempat. Dalam menghadapi lingkungan alam, sosial, dan budaya, manusia tidak hanya mewujudkan kesamaan-kesamaan, tetapi juga ketidak seragaman, sebagaimana ekspresinya dalam berbagai bentuk dan corak ungkapan, pikiran, perasaan, dan tingkah laku.
Aspek adalah suat yang mendasar. Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta yaitu buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi dan akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.
Sosial berarti kata society berasal dari bahasa latin sicietas yang berarti hubungan persahabatan yang lain. Jadi sosial mengandung makna bahwa setiap anggotanya mempunyai perhatian dan kepentingan yang sama dalam mencapai tujuan bersama.

B.     Aspek Sosial Budaya Yang Berhubungan Dengan Kesehatan Bayi
Kesehatan anak sekarang ini sangan memprihatinkan. Banyak sekali kasus anak-anak yang terkena penyakit tertentu karena tidak tercukupi kebutuhan gizinya. Seperti banyak anak-anak di pelosok desa yang orangtuanya hanya sekedar memberi kebutuhan gizi sekedarnya saja pada anak mereka. Terutama mitos mengenai kesehatan anak, orang zaman dahulu mempercayai bahwa jika melakukan sesuatu yang telah lama dilakukan oleh pendahulunya maka mereka juga akan melakukan itu pada anak-anak mereka. Padahal ini malah akan menjadi penghambat kesehatan anak. Sehingga anak mudah sekali terserang penyakit.
Aspek budaya (mitos) yang berkembang di masyarakat yang berhubungan dengan kesehatan anak :
1.      Jika rambut anak anda basah maka anak anda akan masuk angin.
Seorang Pakar Kesehatan Jims Scars mengatakan dari riset yang pernah dilakukannya di Inggris dimana setengah kelompok anak dibiarkan berada dalam ruangan hangat sedangkan sisanya berada di lorong dengan kondisi basah kuyup. Setelah beberapa jam, kelompok yang berada di lorong tadi tidak mengalami flu. " Kedinginan belum tentu mempengaruhi sistem kekebalan tubuh secara langsung".
2.      Anak perlu makan ketika kedinginan dan meminum banyak air ketika demam
Hal yang seharusnya dilakukan adalah menjaga keseimbangan komposisi cairan tubuh . Jika seseorang banyak cairan maka akan mudah terserang penyakit begitupun sebaliknya.Meskipun demikian anak tidak perlu mengonsumsi minuman elektrolit bila tidak mengalami dehidrasi ataupun diare.
3.      Anak akan kehilangan 75% panas melalui kepala
Mitos ini berkembang karena keharusan bahwa kepala bayi yang baru lahir ditutupi ketika cuaca dingin ataupun panas. Hal tersebut dibenarkan karena kepala bayi memiliki presentasi lebih besar daripada bagian tubuh yang lainnya. Tetapi saat beranjak dewasa , keluarnya panas melalui kepala hanya10%, sisanya keluar melalui kaki, lengan , dan tangan.
4.      Makanan yang keluar dari mulut ibu yang terbaik bagi bayi
Suku Sasak di Lombok, para ibu nifas biasa memberikan nasi pakpak (nasi yang telah dikunyah oleh ibunya terlebih dahulu ) kepada bayinya agar bayinya tumbuh sehat dan kuat . Mereka percaya bahwa apa yang keluar dari mulut ibu merupakan yang terbaik untuk bayi.
5.      Asupan lain ketika ASI belum keluar
Masyarakat Kerinci di Sumatera Barat , pada usia 1 bulan bayi sudah diberi bubur tepung, bubur nasi, pisang , dan lain-lain. Dan ada juga kebiasaan memberikan roti,nasi yang sudah dilumatkan ataupun madu, dan teh manis kepada bayi baru lahir sebelum ASI keluar.
6.      Kolostrum dianggap sebagai susu yang sudah rusak
Masyarakat tradisional menganggap kolostrum sebagai susu yang sudah rusak dan tak baik diberikan pada bayi karena warnanya yang kekuning-kuningan. Selain itu, ada yang menganggap kolostrum dapat menyebabkan diare, muntah , dan masuk angin pada bayi.

C.    Aspek Sosial (Mitos) Yang Berkembang Di Masyarakat Yang Berkaitan Dengan Kesehatan Anak
1.      Dukun sebagai penyembuh
Masyarakat pada beberapa daerah beranggapan bahwa bayi yang mengalami kejang-kejang disebabkan karena kemasukan roh halus, dan dipercaya hanya dukun yang dapat menyembuhkannya.


2.      Timbulnya penyakit sebagai pertanda
Demam atau diare yang terjadi pada bayi dianggap pertanda bahwa bayi tersebut akan bertambah kepandaiannya, seperti sudah bisa untuk berjalan.
Kesehatan anak juga dipengaruhi oleh faktor budaya dan sosial. Dimana hingga kini masyarakat baik di perkotaan maupun pedesaan masih menjalankan kepercayaan tersebut. Hal tersebut disebabkan karena kebiasaan yang telah turun temurun terjadi . Tetapi ada baiknya jika masyarakat juga mempertimbangkan dengan pemahaman menurut para medis karena para medis lebih memahami tentang mana yang baik dalam tumbuh kembang kesehatan anak.

D.    Kesehatan Anak
Salah satu faktor yang secara langsung dapat mempengaruhi kondisi kesehatan bayi adalah makanan yang diberikan. Dalam setiap masyarakat ada aturan-aturan yang menentukan kuantitas, kualitas dan jenis-jenis makanan yang seharusnya dan tidak seharusnya dikonsumsi oleh anggota-anggota suatu rumah tangga, sesuai dengan kedudukan, usia, jenis kelamin dan situasi-situasi tertentu. Misalnya, ibu yang sedang hamil tidak diperbolehkan atau dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan tertentu; ayah yang bekerja sebagai pencari nafkah berhak mendapat jumlah makanan yang lebih banyak dan bagian yang lebih baik daripada anggota keluarga yang lain; atau anak laki-laki diberi makan lebih dulu daripada anak perempuan. Walaupun pola makan ini sudah menjadi tradisi ataupun kebiasaan,namun yang paling berperan mengatur menu setiap hari dan mendistribusikan makanan kepada keluarga adalah ibu; dengan kata lain ibu mempunyai peran sebagai gate- keeper dari keluarga.
Pada beberapa masyarakat tradisional di Indonesia kita bisa melihat konsepsi budaya yang terwujud dalam perilaku berkaitan dengan pola pemberian makan pada bayi yang berbeda, dengan konsepsi kesehatan modern. Sebagai contoh, pemberian ASI menurut konsep kesehatan moderen ataupun medis dianjurkan selama 2 (dua) tahun dan pemberian makanan tambahan berupa makanan padat sebaiknya dimulai sesudah bayi berumur 4 tahun. Namun, pada suku Sasak di Lombok, ibu yang baru bersalin selain memberikan nasi pakpak (nasi yang telah dikunyah oleh ibunya lebih dahulu) kepada bayinya agar bayinya tumbuh sehat dan kuat. Mereka percaya bahwa apa yang keluar dari mulut ibu merupakan yang terbaik untuk bayi. Sementara pada masyarakat Kerinci di Sumatera Barat, pada usia sebulan bayi sudah diberi bubur tepung, bubur nasi nasi, pisang dan lain-lain. Ada pula kebiasaan memberi roti, pisang, nasi yangsudah dilumatkan ataupun madu, teh manis kepada bayi baru lahir sebelum ASI keluar. Demikian pula halnya dengan pembuangan colostrum (ASI yang pertama kali keluar). Di beberapa masyarakat tradisional, colostrum ini dianggap sebagai susu yang sudah rusak dan tak baik diberikan pada bayi karena warnanya yang kekuning-kuningan. Selain itu, ada yang menganggap bahwa colostrum dapat menyebabkan diare, muntah dan masuk angin pada bayi. Sementara, colostrum sangat berperan dalam menambah daya kekebalan tubuh bayi.
Walaupun pada masyarakat tradisional pemberian ASI bukan merupakan permasalahan yang besar karena pada umumnya ibu memberikan bayinya ASI, namun yang menjadi permasalahan adalah pola pemberian ASI yang tidak sesuai dengan konsep medis sehingga menimbulkan dampak negatif pada kesehatan dan pertumbuhan bayi. Disamping pola pemberian yang salah, kualitas ASI juga kurang. Hal ini disebabkan banyaknya pantangan terhadap makanan yang dikonsumsi si ibu baik pada saat hamil maupun sesudah melahirkan. Sebagai contoh, pada masyarakat Kerinci ibu yang sedang menyusui pantang untuk mengkonsumsi bayam, ikan laut atau sayur nangka. Di beberapa daerah ada yang memantangkan ibu yang menyusui untuk memakan telur. Adanya pantangan makanan ini merupakan gejala yang hampir universal berkaitan dengan konsepsi "panas-dingin" yang dapat mempengaruhi keseimbangan unsur-unsur dalam tubuh manusia -tanah, udara, api dan air. Apabila unsur-unsur di dalam tubuh terlalu panas atau terlau dingin maka akan menimbulkan penyakit. Untuk mengembalikan keseimbangan unsur-unsur tersebut maka seseorang harus mengkonsumsi makanan atau menjalani pengobatan yang bersifat lebih "dingin" atau sebaliknya. Pada, beberapa suku bangsa, ibu yang sedang menyusui kondisi tubuhnya dipandang dalam keadaan "dingin" sehingga ia harus memakan makanan yang "panas" dan menghindari makanan yang "dingin". Hal sebaliknya harus dilakukan oleh ibu yang sedang hamil (Reddy, 1990).
Menurut Foster dan Anderson (1978: 37), masalah kesehatan selalu berkaitan dengan dua hal yaitu sistem teori penyakit dan sistem perawatan penyakit. Sistemteori penyakit lebih menekankan pada penyebab sakit, teknik-teknik pengobatan pengobatan penyakit. Sementara, sistem perawatan penyakit merupakan suatu institusi sosial yang melibatkan interaksi beberapa orang, paling tidak interaksi antar pasien dengan si penyembuh, apakah itu dokter atau dukun. Persepsi terhadap penyebab penyakit akan menentukan cara pengobatannya. Penyebab penyakit dapat dikategorikan ke dalam dua golongan yaitu personalistik dan naturalistik. Penyakit-penyakit yang dianggap timbul karena adanya intervensi dari agen tertentu seperti perbuatan orang, hantu, mahluk halus dan lain-lain termasuk dalam golongan personalistik. Sementara yang termasuk dalam golongan naturalistik adalah penyakit- penyakit yang disebabkan oleh kondisi alam seperti cuaca, makanan, debu dan lain-lain.
Dari sudut pandang sistem medis moderen adanya persepsi masyarakat yang berbeda terhadap penyakit seringkali menimbulkan permasalahan. Sebagai contoh ada masyarakat pada beberapa daerah beranggapan bahwa bayi yang mengalami kejang- kejang disebabkan karena kemasukan roh halus, dan hanya dukun yang dapat menyembuhkannya. Padahal kejang-kejang tadi mungkin disebabkan oleh demam yang tinggi, atau adanya radang otak yang bila tidak disembuhkan dengan cara yang tepat dapat menimbulkan kematian. Kepercayaan-kepercayaan lain terhadap demam dan diare pada bayi adalah karena bayi tersebut bertambah kepandaiannya seperti sudah mau jalan. Ada pula yang menganggap bahwa diare yang sering diderita oleh bayi dan anak-anak disebabkan karena pengaruh udara, yang sering dikenal dengan istilah "masuk angin". Karena persepsi terhadap penyebab penyakit berbeda-beda, maka pengobatannyapun berbeda-beda. Misalnya, di suatu daerah dianggap bahwa diare ini disebabkan karena "masuk angin" yang dipersepsikan sebagai "mendinginnya" badan anak maka perlu diobati dengan bawang merah karena dapat memanaskan badan si anak.
Sesungguhnya pola pemberian makanan pada anak, etiologi penyakit dan tindakan kuratif penyakit merupakan bagian dari sistem perawaatan kesehatanumum dalam masyarakat (Klienman, 1980). Dikatakan bahwa dalam sistem perawatan kesehatan ini terdapat unsur-unsur pengetahuan dari sistem medis tradisional dan moderen. Hal ini terlihat bila ada anak yang menderita sakit, maka si ibu atau anggota keluarga lain akan melakukan pengobatan sendiri (self treatment) terlebih dahulu, apakah itu dengan menggunakan obat tradisional ataupun obat moderen. Tindakan pemberian obat ini merupakan tindakan pertama yang paling sering dilakukan dalam upaya mengobati penykit dan merupakan satu tahap dari perilaku mencari penyembuhan atau kesehatan yang dikenal sebagai "health seeking behavior". Jika upaya ini tidak berhasil, barulah dicari upaya lain misalnya membawa ke petugas kesehatan seperti dokter, mantri dan lain-lain.

E.     Kebijakan pembangunan KIA.
Uraian sebelumnya telah memperlihatkan bahwa dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan ibu dan anak melalui program-program pembangunan kesehatan perlu memperhatikan aspek-aspek sosial-budaya masyarakat. Menempatkan petugas kesehatan dan membangun fasilitas kesehatan semata tidaklah cukup untuk mengatasi masalah-masalah KIA di suatu daerah. Seperti diketahui ternyata perilaku-perilaku kesehatan di masyarakat baik yang menguntungkan atau merugikan kesehatan banyak sekali dipengaruhi oleh faktor sosial budaya.  
Pada dasarnya, peran kebudayaan terhadap kesehatan masyarakat adalah dalam membentuk, mengatur dan mempengaruhi tindakan atau kegiatan individu-individu suatu kelompok sosial untuk memenuhi berbagai kebutuhan kesehatan. Memang tidak semua praktek/perilaku masyaiakat yang pada awalnya bertujuan untuk menjaga kesehatan dirinya adalah merupakan praktek yang sesuai dengan ketentuan medis/kesehatan. Apalagi kalau persepsi tentang kesehatan ataupun penyebab sakit sudah berbeda sekali dengan konsep medis, tentunya upaya mengatasinya juga berbeda disesuaikan dengan keyakinan ataupun kepercayaan-kepercayaan yang sudah dianut secara turun-temurun sehingga lebih banyak menimbulkan dampak-dampak yang merugikan bagi kesehatan. Dan untuk merubah perilaku ini sangat membutuhkan waktu dan cara yang strategis. Dengan alasan ini pula dalam hal penempatan petugas kesehatan dimana selain memberi pelayanan kesehatan pada masyarakat juga berfungsi sebagai agen perubah (change agent) maka pengetahuan dan kemampuan berkomunikasi dari petugas kesehatan sangat diperlukan disamping kemampuan dan ketrampilan memberi pelayanan kesehatan.
Mengingat bahwa dari indikator-indikator yang ada menunjukkan derajat kesehatan ibu dan anak masih perlu diingkatkan, maka dalam upaya perbaikannya perlu pendekatan-pendekatan yang dilakukan secara holistik dan integratif yang tidak hanya terbatas pada bidang kesehatan secara medis saja tetapi juga ekonomi, pendidikan, sosial dan budaya. Dalam hal melakukan upaya-upaya perbaikan perlu disadari bahwa hubungan ibu dan anak sangat erat dimana kondisi kesehatan ibu akan dapat secara langsung mempengaruhi kondisi kesehatan anaknya, baik mulai dari kandungan maupun setelah persalinan. Oleh karena itu, penting sekali menempatkan konteks reproduksi dalam program KIA sehingga diharapkan kondisi kesehatan seseorang benar-benar dapat terpelihara sesuai dengan konsep medis yang tepat sejak ia berada dalam kandungan, masa kanak-kanak, masa remaja hingga dewasa.

F.     Mitos Yang Berkembang Di Masyarakat
1.      Jika rambut anak anda basah maka anak anda akan masuk angin
Faktanya, pakar kesehatan Jims Scars mengatakan dari riset yang dilakukan di Ingggris dimana setengah kelompok anak dibiarkan dalam ruangan yang hangat sedangkan sisanya berada di lorong dengan kondisi basah kuyup. Setelah beberapa jam, kelompok yang brada di lorong tidak mengalami pilek atau flu. ”kedinginan belum tentu mempengaruhi system kekebalan secara langsung”.
2.      Anak perlu makan ketika kedinginan dan meminum banyak air ketika demam.
Hal yang seharusnya adalah menjaga cairan tubuh merupakan hal terpenting yang harus dilakukan, ketika seseorang banyak cairan maka semakin mudah terkena penyakit. Meski demikian, anak tidak perlu mengkonsumsi minuman elektrolit bila tidak mengalami dehidrasi atau diare.

3.      Anak akan kehilangan 75% panas tubuh melalui kepala.
Mitos macam itu berkembang karena keharusan kepala bayi yang baru lahir ditutupi ketika cuaca dingin. Hal itu dibenarkan, karena kepala bayi memiliki prosentase lebih besar daripada bagian tubuh lainnya. Akan tetapi, ketika sudah besar, keluarnya panas melalui kepala kepala hanya 10%, sisanya panas tubuh keluar melalui kaki, lengan dan tangan.
4.      Pemberian Vitamin secara paksa agar nafsu makan anak akan bertambah , padahal pemberian vitamin pada anak memang di anjurkan namun tetap melihat berapa umur anak tersebut agar dapat melihat dosis yang cocok untuk anak tersebut , namun dengan pemberian vitamin terlalu banyak dapat menyebabkan luka pada lambungnya , apalagi bila anak tersebut makan dengan tidak teratur , maka akan menimbulkan rasa perih pada perutnya dan membuat anak tersebut tidak nafsu makan . Jadi berilah vitamin pada anak yang cukup , tidak terlalu banyak dan tidak juga kurang
5.      Pemberian Vitamin tidaklah terlalu penting inilah yang berkembang di beberapa masyarakat , karena vitamin tersebut tidak berfungsi bagi anak mereka , karena mereka berasumsi vitamin tersebut tidak bekerja pada anak mereka , padahal vitamin bekerja dalam jangka yang pendek , tapi bekerja secara bertahap , dan hal inilah yang tidak di ketehui oleh mereka .

G.    Mitos-Mitos Mengenai Kesehatan Anak
Perkembangan teknologi yang semakin canggih tak membuat masyarakat Indonesia melupakan mitos-mitos yang telah ada sejak zaman dulu. Banyak mitos yang berkembang dimasyarakat yang masih diyakini khususnya mengenai kesehatan anak, orang zaman dahulu mempercayai bahwa jika melakukan sesuatu yang telah lama dilakukan oleh pendahulunya maka mereka juga akan melakukan itu pada anak-anak mereka.
Kesehatan anak sekarang ini sangan memprihatinkan. Banyak sekali kasus anak-anak yang terkena penyakit tertentu karena tidak tercukupi kebutuhan gizinya. Seperti banyak anak-anak di pelosok desa yang orangtuanya hanya sekedar memberi kebutuhan gizi sekedarnya saja pada anak mereka.
Banyak mitos yang berkembang di masyarakat Indonesia mengenai kesehatan anak walaupun umumnya mitos yang berkembang dimasyarakat adalah mitos negative dalam arti mitos yang salah dan malah bisa menjadi salah satu faktor yang akan menghambat kesehatan anak namun tak sedikit pula mitos yang bersifat positif, dalam arti bagus untuk kesehatan anak. Kebanyakan mitos berkembang dimasyarakat pedesaan yang masih memegang teguh aturan atau adat yang turun temurun mereka lakukan berdasarkan kebiasaan orang-orang terdahulu.
1.      Fakta dan Mitos Tentang Kesehatan Mata Pada Anak
·         “Makan banyak wortel mencegah mata minus”
Wortel terkenal tinggi vitamin A dan karoten yang memang penting untuk mata.Tetapi ingat, terlalu banyak asupan vitamin A malah bisa membebani kerja hati, yang juga memproduksi vitamin A.  Sayuran lain juga mengandung manfaat untuk mata. Jenis yang berdaun semisal bayam sangat kaya akan lutein, yaitu pigmen yang mampu menyerap sinar biru UV, bagian dari gelombang cahaya matahari yang paling merusak retina. Beberapa riset menunjukkan, asupan lutein yang cukup setiap hari terbukti semakin memperkecil risiko retina mengalami degenerasi makula dan hilangnya penglihatan di hari tua.Biasakan mengonsumsi berwarna-warni buah dan sayuran yang disediakan oleh alam untuk memperoleh berbagai manfaat kandungan esensial.
Lalu apakah vitamin beserta “kawan-kawannya” itu benar-benar mencegah minus? Tidak. Semua zat penting itu bekerja pada saraf-saraf retina, bukan pada bagian sistem optik.Mata menjadi minus atau plus tergantung pada kelenturan lensa ketika berakomodasi, bukan karena kekurangan asupan vitamin tertentu.
·         “Sering mengucek mata menyebabkan kebutaan”
Tidak, namun perlu diwaspadai sebagai pertanda adanya alergi atau kelainan retina sejak lahir pada anak.Anak-anak yang mempunyai kecenderungan alergi pada mata biasanya sering merasa gatal dan refleks mengucek matanya sehingga dapat mempenga-ruhi perkembangan bentuk kornea.Kemudian soal kebersihan.Sebaiknya ajarkan kepada si kecil untuk membasuh atau menyeka mata dengan air bersih matang apabila matanya terasa gatal.
·         “Membaca sambil tiduran berbahaya”
Yang pasti, gaya membaca seperti ini membuat mata cepat lelah. Paling ideal bahan bacaan diposisikan pada sudut 60 derajat ke arah bawah dan berjarak sekitar 30 cm dari wajah. Jika ingin membaca sambil tiduran, pilih posisi rebah, usahakan tubuh setengah duduk (bersandar pada bantal) dan kepala tegak.
·         “Jangan nonton televisi dekat-dekat! Nanti matanya rusak!”
Belum ada bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa kebiasaan demikian akan merusak mata. Tetapi Anda perlu waspada jika anak terlalu sering melihat atau menonton terlalu dekat obyek, bisa jadi pertanda penglihatannya memang terganggu. Ia kesulitan melihat sehingga mendekatkan diri kepada obyek, sedekat yang ia perlukan. Idealnya, jarak menonton TV adalah 4 x diagonal layar TV. Jadi jika diagonal layar TV 50 cm, maka jarak terbaik untuk menonton adalah 2 meter. Kadang anak mendekat dengan televisi karena ingin menyentuh tokoh-tokoh cerita, atau merasa dirinya bagian dari cerita dalam TV. Kebiasaan ini akan hilang sejalan pertambahan usianya. Anak-anak bisa fokus dekat tanpa kelelahan mata, jauh lebih baik daripada orang dewasa. Ketika si kecil menonton TV, mintalah agar ia sesekali melihat jauh, yaitu melepaskan pandangan ke obyek penglihatan yang jauh agar otot mata rileks, misalnya pemandangan luar jendela, kebun, atau ruangan lain yang terlihat dari tempat anak duduk. Ingatkan juga untuk melihat jauh setiap anak melakukan near-work activity, misalnya membaca.
·         ”Juling pada bayi nantinya normal sendiri”
Salah! Anak-anak tidak tumbuh juling alias strabismus.
Bayi-bayi usia 0-4 bulan memang biasa terlihat juling ketika mereka berusaha berfiksasi, namun keadaan itu akan berhenti sendiri sejalan dengan kemampuan fiksasi yang membaik. Tetapi jika setelah usia 4 bulan mata tetap juling meskipun tidak sedang berfiksasi pada obyek yang dekat mata, segeralah periksakan anak ke dokter mata untuk memastikan juling atau tidak. Strabismus yang timbul sejak lahir umumnya ditangani dengan prosedur bedah. Target bedah strabismus secara umum terbagi dua, yaitu binocular vision dan kosmetik. Target tertama lebih bisa dicapai jika tindakan bedah dilakukan saat usia pasien masih kecil.” Jika dibiarkan saja, peluang untuk mendapat binocular vision hilang, dan dapat berkembang menjadi amblyopia atau mata malas. Ingat, otak cenderung mensupresi bagian tubuh yang jarang dipakai.Pada penderita amblyopia, otak mensupresi mata yang jarang dipakai.Karena itu, mata harus terus dipaksa bekerja, kecuali kita mau otak menganggap mata itu tidak diperlukan lagi.

H.    Mitos tentang vitamin sangat perlu diketahui agar tak salah langkah..
1.      Anak kurus karena kurang vitamin
Orang sering berpikir, anak yang gemuk dan lincah pastilah sehat. Padahal belum tentu, lho. Anak gemuk belum tentu cukup vitamin. Pasalnya, tubuh yang besar relatif butuh makanan lebih banyak. "Bisa jadi, anak yang gemuk tersebut kurang darah alias mengidap anemia."
Biasanya pada saat lahir, anak tersebut mendapat cadangan makanan (baik zat besi maupun vitamin) yang cukup dari ibunya. Namun seiring pesatnya pertumbuhan, ia ternyata relatif kekurangan vitamin pembentukan darah. Untuk itu harus mendapat tambahan asam folat, zat besi, dan vitamin C.
Sebaliknya, anak yang kurus juga belum tentu kekurangan vitamin. Pemikiran bahwa anak gemuk itu sehat dan anak kurus tidak sehat, tidak berlaku lagi sekarang. "Patokannya sekarang adalah tumbuh dan kembang. Untuk mengetahui apakah anak kita cukup ideal, bisa menggunakan alat ukur grafik berat, tinggi dan umur yang saling dibandingkan," lanjut Ghazali.
Selain itu, faktor genetik pun bisa mempengaruhi anak menjadi kurus, gemuk, pendek, tinggi, dan lainnya.
2.      Nafsu makan hilang, cekok saja dengan vitamin
Sering, kan, kita lihat orang tua yang sembarangan mencekokkan vitamin pada anaknya yang sulit makan. "Mencekokkan vitamin dianggap bisa mengembalikan nafsu makan anak. Padahal, hilangnya nafsu makan anak disebabkan banyak hal, seperti karena sakit tenggorokan, sariawan, gigi tumbuh, gigi copot, anak flu, atau terkena TBC," ujar Ghazali.
Pemberian vitamin yang berlebihan justru bisa membuat anak kehilangan nafsu makan. Terutama jika anak kehilangan vitamin C alias asam askorbat. Asam jika dimakan berlebih akan menyebabkan perut perih. Apalagi jika anak makan tidak teratur, bisa saja terjadi luka di lambung. Tetapi pada anak kecil hal ini jarang terjadi.
Penyakit mag biasanya diderita orang dewasa. Untuk itu sebaiknya mengkonsumsi vitamin sesuai dosis wajarnya 50 mg. Jangan termakan iklan yang menyebutkan bahwa menelan vitamin dosis tinggi (sampai 1.000 mg) bisa membantu stamina tetap kuat dan tidak sakit-sakitan.
3.      Vitamin membuat anak lebih cerdas
Vitamin memang bisa membuat anak cerdas, namun tetapi prosesnya tentu saja tidak langsung. Cerdas itu terjadi karena anak mengalami perkembangan. Misalnya cepat bicara, berjalan, bermain, dan lainnya.



I.       Hubungan Aspek Sosial Budaya Dan Kesehatan
Kata “kebudayaan” berasal dari (bahasa sansekerta) buddhayah yang merupakan bentuk jamak kata “buddhi” yang berarti budi atau akal. Kebudayaan diartikan sebagai “hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal”. Menurut E.B Tylor mendefinisikan kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Dengan kata lain, kebudayaan mencakup semuanya yang didapatkan atau dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan terdiri dari segala sesuatu yang dipelajari dari pola-pola perilaku yang normatif. Artinya mencakup segala cara-cara atau pola-pola berpikir, merasakan, dan bertindak (Soekanto, 2006).
Setiap manusia mempunyai kebudayaan sendiri-sendiri. Koentjaraningrat (2005) mengemukakan bahwa kebudayaan sedikitnya mempunyai tiga wujud, yaitu : wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma, dan peraturan-peraturan, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktifitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat, dan wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Goodenough dalam Dumatubun (2002) mengemukakan bahwa kebudayaan adalah suatu sistem kognitif yang terdiri dari pengetahuan, kepercayaan, dan nilai yang berada dalam pikiran anggota-anggota individual masyarakat. Ini berarti bahwa kebudayaan berada dalam “tatanan kenyataan yang ideasional”, merupakan perlengkapan mental yang oleh anggota-anggota masyarakat dipergunakan dalam proses-proses orientasi, transaksi, pertemuan, perumusan gagasan, penggolongan, dan penafsiran perilaku sosial nyata dalam masyarakat, dan digunakan sebagai pedoman bagi anggota-anggota masyarakat untuk berperilaku sosial yang baik/pantas dan sebagai penafsiran bagi perilaku orang-orang lain.
Manusia dalam menghadapi lingkungan senantiasa menggunakan berbagai model tingkah laku yang selektif (selected behaviour) sesuai dengan tantangan yang dihadapi. Pola perilaku tersebut didasarkan pada sistem kebudayaan yang diperoleh dan dikembangkan serta diwariskan secara turun temurun.
Pewarisan kebudayaan adalah proses pemindahan, penerusan, pemilikan dan pemakaian kebudayaan dari generasi ke generasi secara berkesinambungan. Pewarisan budaya bersifat vertikal artinya budaya diwariskan dari generasi terdahulu kepada generasi berikutnya untuk digunakan, dan selanjutnya diteruskan kepada generasi yang akan datang.
Pewarisan kebudayaan dapat dilakukan melalui enkulturasi dan sosialisasi. Enkulturasi atau pembudayaan adalah proses mempelajari dan menyesuaikan pikiran dan sikap individu dengan sistem nilai, norma, adat, dan peraturan hidup dalam kebudayaannya. Proses enkulturasi dimulai sejak dini, yaitu masa kanak-kanak, bermula dilingkungan keluarga, teman sepermainan, dan masyarakat luas (Herimanto dan Winarno, 2008).
Dalam melakukan tindakan pada suatu interaksi sosial, seseorang dipandu nilai-nilai. Nilai-nilai tersebut adalah prinsip-prinsip yang berlaku pada suatu masyarakat tentang apa yang baik, apa yang benar dan apa yang berharga yang harusnya dimiliki dan dicapai oleh warga masyarakat. Sistem nilai mencakup konsep-konsep abstrak tentang apa yang dianggap baik, dan apa yang dianggap buruk dan itulah sesungguhnya inti dari suatu kebudayaan (Badrujaman, 2008).
Nilai sebagai keyakinan yang pantas dan benar bagi diri dan orang lain dalam lingkungan kebudayaan tertentu diharapkan dijalankan bagi semua warganya termasuk generasi selanjutnya. Pandangan tentang pengertian nilai menurut Bambang Daroeso, nilai adalah suatu kualitas atau penghargaan terhadap sesuatu, yang menjadi dasar penentu tingkah laku seseorang (Herimanto dan Winarno, 2008). Perwujudan dari nilai yang bersifat abstrak menjadi suatu pola perilaku senyatanya dan perilaku dibenarkan, disebut norma (norm), norma sebagai perilaku nyata (empirik) yang bersifat objektif, dapat diamati, dan telah terpolakan dalam masyarakat. Norma merupakan tatanan yang menuntut individu harus berperilaku tertentu (Polak, 1991; Giddens, 1995, Hamzah, 2000).
Khusus dalam mengatur hubungan antar manusia, kebudayaan dinamakan pula struktur normatif atau menurut istilah Ralp Linton designs for living (garis-garis atau petunjuk dalam hidup). Artinya kebudayaan adalah suatu garis-garis pokok tentang perilaku atau blue print of behaviour yang merupakan peraturan-peraturan mengenai apa yang seharusnya dilakukan, apa yang dilarang, dan lain sebagainya.
Konsep sehat dilihat dari segi sosial, yaitu berkaitan dengan kesehatan pada tingkat individual yang terjadi karena kondisi-kondisi sosial, politik, ekonomi, serta budaya yang melingkupi individu tersebut. Untuk sebuah kesehatan masyarakat menciptakan sebuah strategi adaptasi baru dalam menghadapi penyakit. Strategi yang memaksa manusia untuk menaruh perhatian utama pada pencegahan dan pengobatan penyakit. Dalam usahanya untuk menanggulangi penyakit, manusia telah mengembangkan “suatu kompleks luas dari pengetahuan, kepercayaan, teknik, peran, norma-norma, nilai-nilai, idiologi, sikap, adat-istiadat, upacara-upacara dan lambang-lambang yang saling berkaitan dan membentuk suatu sistem yang saling menguatkan dan saling membantu (Anderson, 1980, dalam Badrujaman, 2008).
Perilaku terwujud secara nyata dari seperangkat pengetahuan kebudayaan. Sistem budaya, berarti mewujudkan perilaku sebagai suatu tindakan yang kongkrit dan dapat dilihat, yang diwujudkan dalam sistem sosial. Berbicara tentang konsep perilaku, hal ini berarti merupakan satu kesatuan dengan konsep kebudayaan. Perilaku kesehatan seseorang sangat berkaitan dengan pengetahuan, kepercayaan, nilai, dan norma dalam lingkungan sosialnya, berkaitan dengan terapi, pencegahan penyakit (fisik, psikis, dan sosial) berdasarkan kebudayaan masing-masing (Dumatubun, 2002). Selain dengan pengamalan perilaku dalam konteks budaya, pengamalan perilaku setiap individu sangat erat kaitannya dengan “belief, kepercayaan” sebagai bagian nilai budaya masyarakat bersangkutan (Ngatimin, 2005)
Nilai-nilai sosial budaya memiliki arti penting bagi manusia dan masyarakat penganutnya. Didalamnya tercakup segala sesuatu yang mengatur hidup mereka termasuk tatacara mencari pengobatan bila sakit. Kekurangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu kesehatan disertai pengalaman hidup sehari-hari yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya membuat mereka mencari pemecahan timbulnya penyakit, penyebaran dan cara pengobatan menuju ke arah percaya akan adanya pengaruh roh halus dan tahyul.
Perilaku manusia dalam menghadapi masalah kesehatan merupakan suatu tingkah laku yang selektif, terencana, dan tanda dalam suatu sistem kesehatan yang merupakan bagian dari budaya masyarakat yang bersangkutan. Perilaku tersebut terpola dalam kehidupan nilai sosial budaya yang ditujukan bagi masyarakat tersebut. Perilaku merupakan tindakan atau kegiatan yang dilakukan seseorang dan sekelompok orang untuk kepentingan atau pemenuhan kebutuhan tertentu berdasarkan pengetahuan, kepercayaan, nilai, dan norma kelompok yang bersangkutan. Kebudayaan kesehatan masyarakat membentuk, mengatur, dan mempengaruhi tindakan atau kegiatan individu-individu suatu kelompok sosial dalam memenuhi berbagai kebutuhan kesehatan baik yang berupa upaya mencegah penyakit maupun menyembuhkan diri dari penyakit (Kalangi, 1994). Oleh karena itu dalam memahami suatu masalah perilaku kesehatan harus dilihat dalam hubungannya dengan kebudayaan, organisasi sosial, dan kepribadian individu-individunya.

J.      Aspek Sosial Budaya Yang Berhubungan Dengan Kesehatan Anak
Pada sejumlah masyarakat tradisional di Indonesia kita bisa melihat konsepsi budaya yang terwujud dalam perilaku yang berkaitan dengan pola pemberian makan pada anak yang berbeda, dengan konsepsi kesehatan modern.
Kesehatan anak pada masa kini sangat memprihatinkan. Banyak faktor yang secara langsung dapat mempengaruhi kondisi kesehatan anak yaitu mengenai pola makanan yang diberikan.
Dalam setiap masyarakat ada aturan-aturan yang menentukan kuantitas, kualitas dan jenis-jenis makanan yang seharusnya dan tidak seharusnya dikonsumsi oleh anggota-anggota suatu rumah tangga, sesuai dengan kedudukan, usia, jenis kelamin dan situasi-situasi tertentu.
Banyak sekali diantara kasus anak-anak yang terkena penyakit tertentu karena tidak tercukupi kebutuhan gizinya. Seperti banyak anak-anak di pelosok desa yang orang tuanya hanya sekedar memberi kebutuhan gizi tanpa mengetahui Kesehatan bagi anaknya.
Majunya perkembangan tekhnologi medis yang kian canggih membuat sejumlah mitos yang diyakini belum dapat hilang. Bahkan mitos yang telah diyakinin justru lebih dipercaya ketimbang nasehat dokter. Oleh karena itu dari sudut pandang medis modern terdapat adanya persepsi masyarakat yang berbeda terhadap penyakit yang seringkali menimbulkan permasalahan.
Mitos yang diyakini terutama mengenai kesehatan anak, orang zaman dahulu mempercayai bahwa jika melakukan sesuatu yang telah lama dilakukan oleh pendahulunya maka mereka juga akan melakukan itu pada anak-anak mereka. Padahal ini malah akan menjadi penghambat kesehatan anak. Sehingga, anak mudah sekali terserang penyakit.
Sebagai contoh ada masyarakat pada beberapa daerah beranggapan bahwa bayi yang mengalami kejang- kejang disebabkan karena kemasukan roh halus, dan hanya dukun yang dapat menyembuhkannya. Padahal kejang-kejang tadi mungkin disebabkan oleh demam yang tinggi, atau adanya radang otak yang bila tidak disembuhkan dengan cara yang tepat dapat menimbulkan kematian.
Kepercayaan-kepercayaan lain yang diyakinin oleh masyarakat yaitu demam dan diare pada bayi atau anak. Mereka meyakini bahwa bayi tersebut bertambah kepandaiannya seperti sudah mau jalan.
Ada pula yang menganggap bahwa diare yang sering diderita oleh bayi dan anak-anak disebabkan karena pengaruh udara, yang sering dikenal dengan istilah "masuk angin". Karena persepsi terhadap penyebab penyakit berbeda-beda, maka pengobatannyapun berbeda-beda. Misalnya, di suatu daerah dianggap bahwa diare ini disebabkan karena "masuk angin" yang dipersepsikan sebagai "mendinginnya" badan anak maka perlu diobati dengan bawang merah karena dapat memanaskan badan si anak.
Menurut (Klienman, 1980), “Sesungguhnya pola pemberian makanan pada anak, etiologi penyakit dan tindakan kuratif penyakit merupakan bagian dari sistem perawaatan Kesehatan umum dalam masyarakat. Dikatakan bahwa dalam sistem perawatan kesehatan ini terdapat unsur-unsur pengetahuan dari sistem medis tradisional dan moderen. Hal ini terlihat bila ada anak yang menderita sakit, maka si ibu atau anggota keluarga lain akan melakukan pengobatan sendiri (self treatment) terlebih dahulu, apakah itu dengan menggunakan obat tradisional ataupun obat modern.
Tindakan pemberian obat ini merupakan tindakan pertama yang paling sering dilakukan dalam upaya mengobati penyakit dan merupakan satu tahap dari perilaku mencari penyembuhan atau kesehatan yang dikenal sebagai "health seeking behavior". Jika upaya ini tidak berhasil, barulah dicari upaya lain misalnya membawa ke petugas kesehatan seperti dokter, mantri dan lain-lain.
Ada pula mitos seorang ibu yang sedang hamil tidak diperbolehkan atau dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan tertentu. Bahkan, ayah yang bekerja sebagai pencari nafkah berhak mendapat jumlah makanan yang lebih banyak dan bagian yang lebih baik dari pada anggota keluarga yang lain atau anak laki-laki diberi makan lebih dulu dari pada anak perempuan.
Walaupun pola makan dalam mitos ini sudah menjadi tradisi ataupun kebiasaan, Namun yang paling berperan mengatur menu setiap hari dan mendistribusikan makanan kepada keluarga adalah ibu. Dengan kata lain ibu mempunyai peran sebagai gate- keeper dari keluarga.
Contoh lain yaitu dalam pemberian ASI menurut konsep kesehatan moderen ataupun medis dianjurkan selama 2 (dua) tahun dan pemberian makanan tambahan berupa makanan padat sebaiknya dimulai sesudah bayi berumur 4 tahun. Namun, pada suku Sasak di Lombok, ibu yang baru bersalin selain memberikan nasi pakpak (nasi yang telah dikunyah oleh ibunya lebih dahulu) kepada bayinya agar bayinya tumbuh sehat dan kuat. Mereka percaya bahwa apa yang keluar dari mulut ibu merupakan yang terbaik untuk bayi.
Demikian pula halnya dengan pembuangan colostrum (ASI yang pertama kali keluar). Di sejumlah masyarakat tradisional, colostrum ini dianggap sebagai susu yang sudah rusak dan tak baik diberikan pada bayi karena warnanya yang kekuning-kuningan. Selain itu, ada yang menganggap bahwa colostrum dapat menyebabkan diare, muntah dan masuk angin pada bayi. Padahal colostrum sangat berperan dalam menambah daya kekebalan tubuh bayi.
Walaupun pada masyarakat tradisional pemberian ASI bukan merupakan permasalahan yang besar karena pada umumnya ibu memberikan bayinya ASI, namun yang menjadi permasalahan adalah pola pemberian ASI yang tidak sesuai dengan konsep medis sehingga menimbulkan dampak negatif pada kesehatan dan pertumbuhan bayi.
Disamping pola pemberian yang salah, kualitas ASI juga kurang. Hal ini disebabkan banyaknya pantangan terhadap makanan yang dikonsumsi si ibu baik pada saat hamil maupun sesudah melahirkan. Sebagai contoh, pada masyarakat Kerinci ibu yang sedang menyusui pantang untuk mengkonsumsi bayam, ikan laut atau sayur nangka. Di beberapa daerah ada yang memantangkan ibu yang menyusui untuk memakan telur.
Adanya pantangan makanan ini merupakan gejala yang hampir universal berkaitan dengan konsepsi "panas-dingin" yang dapat mempengaruhi keseimbangan unsur-unsur dalam tubuh manusia -tanah, udara, api dan air. Apabila unsur-unsur di dalam tubuh terlalu panas atau terlau dingin maka akan menimbulkan penyakit.
Oleh karena itu, untuk mengembalikan keseimbangan unsur-unsur tersebut maka seseorang harus mengkonsumsi makanan atau menjalani pengobatan yang bersifat lebih "dingin" atau sebaliknya. Pada, beberapa suku bangsa, ibu yang sedang menyusui kondisi tubuhnya dipandang dalam keadaan "dingin" sehingga ia harus memakan makanan yang "panas" dan menghindari makanan yang "dingin".
Menurut Foster dan Anderson (1978: 37), masalah kesehatan selalu berkaitan dengan dua hal yaitu sistem teori penyakit dan sistem perawatan penyakit. Sistem teori penyakit lebih menekankan pada penyebab sakit, teknik-teknik pengobatan pengobatan penyakit. Sementara, sistem perawatan penyakit merupakan suatu institusi sosial yang melibatkan interaksi beberapa orang, paling tidak interaksi antar pasien dengan si penyembuh, apakah itu dokter atau dukun. Persepsi terhadap penyebab penyakit akan menentukan cara pengobatannya.
Penyebab penyakit dapat dikategorikan ke dalam dua golongan yaitu personalistik dan naturalistik. Penyakit-penyakit yang dianggap timbul karena adanya intervensi dari agen tertentu seperti perbuatan orang, hantu, mahluk halus dan lain-lain termasuk dalam golongan personalistik. Sementara yang termasuk dalam golongan naturalistik adalah penyakit- penyakit yang disebabkan oleh kondisi alam seperti cuaca, makanan, debu dan lain-lain.











BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan
Kesehatan anak sekarang ini sangan memprihatinkan. Banyak sekali kasus anak-anak yang terkena penyakit tertentu karena tidak tercukupi kebutuhan gizinya. Seperti banyak anak-anak di pelosok desa yang orangtuanya hanya sekedar memberi kebutuhan gizi sekedarnya saja pada anak mereka.
Pada zaman sekarang ini perkembangan tekhnologi medis kian canggih. Meski demikian, secanggih apapun tekhnilogi yang berkembang tidak menghilangkan sejumlah mitos yang diyakini masyarakat. Bahkan mitos yang ada justru lebih dipercaya ketimbang nasehat dokter.
Terutama mitos mengenai kesehatan anak, orang zaman dahulu mempercayai bahwa jika melakukan sesuatu yang telah lama dilakukan oleh pendahulunya maka mereka juga akan melakukan itu pada anak-anak mereka. Padahal ini melah akan menjadi penghambat kesehatan anak. Sehingga anak mudah sekali terserang penyakit.

B.     Saran
Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk menginformasikan atau memberitahukan kepada teman-teman mengenai mitos yang berkembang di masyarakat khususnya pedesaan yang masih memegang teguh aturan atau adat yang turun temurun mereka lakukan berdasarkan kebiasaan orang-orang terdahulu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Copyright © 2011 PAKAR BANGSA - All rights reserved. PIK REMAJA KECAMATAN PASEKAN INDRAMAYU