Mencermati Kemiskinan yang Terjadi pada Negara Berkembang di Asia
Krisis keuangan pada tahun 1997 menyebabkan pengangguran dan kehilangan pendapatan dalam ekonomi yang berkembang di Asia Timur dan Tenggara, meningkatkan penderitaan masyarakat miskin. Walaupun Asia Selatan tidak mengalami hal yang sama dari krisis itu, meningkatnya populasi di daerah itu menyebabkan pertumbuhan penduduk miskin. Tepatnya, lebih banyak orang dengan pendapatan di bawah garis kemiskinan di Asia saat ini daripada tahun 1995. Di antara negara berkembang di Asia, persentase total populasi hidup di bawah garis kemiskinan juga lebih tinggi daripada 5 tahun yang lalu. Kemiskinan dapat diukur dari pendapatan dan indikator sosial lainnya seperti angka melek huruf, angka harapan hidup dan status gizi. KEMISKINAN, KETIDAKMERATAAN DAN PERTUMBUHAN EKONOMINegara berkembang di Asia yang
termasuk berpendapatan rendah atau miskin, dilihat dari posisinya di bawah garis kemiskinan secara nasional maupun internasional yaitu berpendapatan di bawah 1 dolar per hari, pendapatan kotor (gross domestic product/GDP) per kapita sebagai indikator pembangunan ekonomi dan menghasilkan ukuran perbedaan pendapatan antar kelompok populasi dengan pendapatan terendah dan tertinggi. Proporsi penduduk suatu negara yang berada di bawah garis kemiskinan bervariasi, dari 9 persen di Cina sampai dengan 46 persen di Laos. Di Indonesia, pada tahun 1998, terdapat 17 persen penduduk yang erbada di bawah garis kemiskinan. Proporsi negara dengan pendapatan di bawah 1 dolar per hari juga bervariasi, mulai dari di bawah 2 persen di Thailand sampai dengan lebih dari 50 persen di Nepal, sedangkan di Indonesia hanya 8 persen. Selisih antara dua ukuran itu, mencerminkan besarnya variasi setiap negara mendefinisikan kemiskinan di negaranya sendiri. Data yang ada juga menunjukkan adanya kaitan antara mengurangi kemiskinan dengan pembangunan ekonomi. Negara dengan GDP tinggi seperti Malaysia dan Thailand cenderung sedikit proporsi penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan. Kontrasnya, negara dengan GDP per kapita rendah seperti Nepal, Laos, Vietnam dan Bangladesh mempunyai proporsi penduduk miskin yang besar. Perbandingan pendapatan antara penduduk termiskin dengan penduduk terkaya menunjukkan variasi bermakna dari ketidakmerataan pendapatan di Asia. Pembangunan ekonomi yang relatif lebih tinggi di Malaysia dan Thailand berhubungan dengan perbedaan jauh antara kaya dan miskin. Kontrasnya, kejadian tidak meratanya pendapatan sangat rendah terjadi di negara Asia Selatan. Negara yang berada pada peringkat menengah GDP per kapitanya justru menunjukkan variasi besar dari ketidakmerataan pendapatan. Kecenderungan sejak tahun 1970 di Thailand dan Sri Lanka menunjukkan bahwa tingginya tingkat pertumbuhan dapat membantu penduduk miskin daripada meningkatkan ketidakmerataan. Tahun 1970-an, pendapatan per kapita relatif sama pada 2 negara itu. Perbedaan pendapatan lebih besar di Thailand dan lebih besar lagi sampai 20 tahun kemudian. Tahun 1990, 20 persen penduduk termiskin di Thailand mendapatkan 4 persen dari total pendapatan, dibandingkan dengan 9 persen untuk kelompok yang sama di Sri Lanka. Karena pertumbuhan ekonomi Thailand lebih cepat, tahun 1990, 20 persen penduduk termiskin berpendapatan rata-rata 45 persen (atau 61 dolar per tahun) daripada Sri Lanka yang hanya 42 dolar per tahun. INDIKATOR SOSIAL DARI KEMISKINANAda tiga indikator sosial dari kemiskinan yaitu angka melek huruf orang dewasa, angka harapan hidup saat lahir dan malnutrisi anak. Secara umum, indikator itu cukup baik pada negara Asia Timur, diikuti oleh Asia Tenggara dan terburuk di Asia Selatan. Negara dengan tingkat kemiskinan tinggi biasanya menduduki peringkat rendah dari indikator sosial. Kecuali, Sri Lanka, Filipina dan Vietnam yang tinggi indikator sosialnya namun juga tinggi tingkat kemiskinannya. Sama halnya dengan ukuran pendapatan, informasi tingkat nasional mungkin menggambarkan besarnya ketidakmerataan di suatu negara. Pendidikan, kesehatan dan status gizi sangat bervariasi menurut jender, umur, pendapatan rumah tangga, suku, agama, kasta, desa/kota dan wilayah geografis. Ketidaksetaraan jender dalam indikator sosial merupakan gambaran di Asia Selatan (kecuali Sri Lanka), dan di Papua Nugini. Di India dan Indonesia, ada perbedaan tajam di indikator sosial di setiap wilayah. Di semua negara berkembang di Asia, indikator sosial cenderung lebih rendah di desa daripada di kota. Angka melek hurufMelek huruf dapat dicapai dengan menamatkan sekolah dasar selama 4 sampai 5 tahun. Angka melek huruf pada orang dewasa hampir sama tingginya di Filipina, Thailand, dan Vietnam yang mencapai 95 persen, sedangkan Indonesia sebesar 84 persen. Angka melek huruf yang tinggi menggambarkan pencapaian yang tinggi dari suatu negara kecuali Thailand yang relatif rendah pendapatannya. Rata-rata angka melek huruf di bawah 60 persen di negara lain Asia Selatan (Bangladesh, India, Nepal, Pakistan) dan Laos. Angka harapan hidupAngka harapan hidup waktu lahir sangat rendah (kurang dari 65 tahun) pada kebanyakan negara Asia Timur dan Tenggara, Asia Selatan (kecuali Sri Lanka) dan Papua Nugini. Angka harapan hidup yang tinggi di Sri Lanka, Cina dan Vietnam menggambarkan prestasi di tengah pembangunan ekonomi yang moderat. Walaupun kebanyakan negara Asia telah menunjukkan kemajuan angka harapan hidup, namun penyakit serius dan perilaku tidak sehat masih menyebar. Negara berkembang di Asia Timur mempunyai angka TB dan merokok yang tinggi di dunia. HIV/AIDS merupakan ancaman yang berkembang di banyak negara Asia dan lebih besar daripada estimasi prevalensi saat ini. Prevalensi malaria tinggi di Sri Lanka dan Kamboja, dan strain malaria yang kebal ditemukan di Thailand, Kamboja, Myanmar dan India. Malnutrisi pada anakMalnutrisi pada anak dan ibu hamil sangat umum terjadi di negara berkembang Asia. Lebih dari 40 persen anak di bawah usia 5 tahun (balita), menunjukkan tanda malnutrisi kronis di semua negara Asia Selatan, kecuali Sri Lanka, Kamboja, Indonesia, Laos, Myanmar, Vietnam, dan Papua Nugini. Prevalensi malnutrisi anak di Indonesia (42 persen), sangat tinggi di negara dengan tingkat pembangunan ekonomi yang cukup baik. Hal itu kontras dengan prevalensi malnutrisi yang lebih rendah di Sri Lanka (hanya 18 persen-padahal GDP negara itu lebih rendah daripada Indonesia), kecuali di negara dengan GDP yang lebih rendah. KEMISKINAN DAN FERTILITASDi antara negara berkembang di Asia, hanya Cina, Thailand dan Sri Lanka saja yang telah mengurangi rata-rata fertilitas sampai ke tahap penggantian (angka total fertilitas 2,1 per perempuan). Fertilitas yang tinggi berimplikasi pada angka ketergan-tungan rasio, jumlah orang yang tergantung (biasanya anak-anak) di populasi di-bandingkan dengan jumlah orang dewasa di tempat kerja. Di negara seperti Pakistan, Nepal dan Filipina, di mana fertilitas tetap tinggi walaupun sudah ada program keluarga berencana, data yang ada menunjukkan bahwa masalah utama dalam membatasi fertilitas bukanlah rendahnya informasi atau akses kontrasepsi tetapi lebih ke arah rendahnya kualitas pelayanan KB (terutama pelayanan yang tersedia untuk penduduk miskin), lalu adanya rasa takut akan efek samping medis, serta hambatan sosial, budaya dan agama untuk menggunakan alat KB. Di Kamboja, Laos dan Myanmar, kurangnya kemajuan dalam mengurangi fertilitas juga merefleksikan rendahnya pengetahuan dan akses untuk alat KB. Di seluruh wilayah Asia, fertilitas cenderung lebih tinggi pada penduduk miskin. Hal itu menyebabkan, faktor lainnya seimbang, dalam peningkatan proporsi penduduk yang hidup miskin. Untuk beberapa hal, makin tinggi fertilitas pada penduduk miskin, menyebabkan perbedaan dalam hal pengetahuan dan akses terhadap alat KB. Contohnya, angka pemakaian kontrasepsi tidak bervariasi seperti halnya pendapatan di negara seperti Indonesia dan Bangladesh yang mempunyai program KB yang mapan dan efektif, ataupun di negara di mana program KB itu kurang berhasil seperti di Pakistan dan Nepal. Namun demikian, fertilitas yang lebih tinggi di antara penduduk miskin dapat merefleksikan kebutuhan yang besar untuk mempunyai anak. Di negara yang sukses mengurangi fertilitas, rasio ketergantungan sudah rendah. Data terbaru menunjukkan bahwa pengurangan itu meningkatkan produktivitas tenaga kerja dengan meningkatkan tabungan dan rasio antara modal-tenaga kerja. Hal itu mendorong pertumbuhan ekonomi yang berhubungan dengan transisi fertilitas yang dikenal sebagai bonus kependudukan. Cina, Thailand, Malaysia dan Indonesia telah mendapat keuntungan dari peningkatan tabungan rumah tangga berhubungan dengan menurunnya beban ketergantungan. Negara itu juga mendapat keuntungan dari tabungan sektor publik dengan makin sedikitnya jumlah anak yang butuh sekolah dan pelayanan kesehatan. IMPLIKASI KEBIJAKAN Investasi di sumber daya manusiaInvestasi sektor publik dalam bidang pendidikan, gizi dan KB berkontribusi langsung terhadap kesejahteraan penduduk miskin. Investasi serupa juga memperkuat pendapatan yang lebih tinggi dan pertumbuhan ekonomi. Gambaran penting dari investasi di sumber daya manusia merupakan suatu derajat sinergi yang dapat dicapai. Investasi pada pendidikan perempuan, contohnya mem-promosikan pening-katan di bidang kesehatan dan gizi serta mengurangi fertili-tas saat anak perempuan me-masuki usia reproduksi. Investasi di bidang KB juga mengarah ke pengurangan fertilitas dan melebarkan jarak kelahiran berhubungan dengan peningkatan di bidang kesehatan ibu dan anak, gizi dan pendidikan. Di banyak negara Asia, ada peningkatan perhatian tentang tidak efisiennya pelayanan kesehatan, pendidikan, dan KB yang diberikan oleh pemerintah. Satu pendekatan untuk meningkatkan efisiensi adalah desentralisasi pelayanan pemerintah. Beberapa negara memberikan porsi yang lebih besar kepada LSM dan sektor swasta dalam menyediakan pelayanan sosial untuk masyarakat miskin. Perhatian lainya adalah untuk menjamin investasi dalam sumber daya manusia yang menguntungkan penduduk miskin seperti halnya kelompok penduduk yang tidak diuntungkan, mencakup perempuan, anak-anak, penduduk desa, etnis minoritas dan kelompok agamawan. Memperkuat pertumbuhan ekonomiPengalaman negara ekonomi industri baru di Asia, seperti Korea Selatan dan Taiwan, menunjukkan bahwa seluruh kerangka kebijakan berdasarkan insentif pasar dan orientasi mengarah ke pertumbuhan ekonomi yang cepat. Pertumbuhan ekonomi merupakan kunci untuk mengurangi kemiskinan karena pertumbuhan meningkatkan kebutuhan akan tenaga kerja, salah satu aset yang tersedia di negara miskin. Antara tahun 1965 dan 1990, ekonomi Asia Timur yang menekankan pasar untuk terlaksana dengan bebas dan konsisten untuk perdagangan rata-rata lebih cepat 2 point persen per tahun, dibandingkan dengan ekonomi Asia Selatan yang lebih kaku dan tertutup untuk perdagangan. Pendekatan yang paling sukses untuk mengurangi kemiskinan adalah berdasarkan pada kerangka kebijakan keseluruhan yang memperkuat pertumbuhan ekonomi, dengan tekanan pada sektor yang memberikan pekerjaan untuk penduduk miskin. Untuk menjamin pertumbuhan ekonomi me-nguntungkan masyarakat yang tidak beruntung, kebijakan harus menggunakan investasi yang tepat di sumber daya manusia seperti pendidikan, kesehatan dan pelayanan KB. Disadur dari: Knowles, J. A Look at Poverty in the Developing Countries of Asia. Asia-Pacific Population and Policy. No. 52, January 2000
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar